ALEPPO, KOMPAS.com - Selama bertahun-tahun, penduduk Aleppo di Suriah hidup dibayangi pemboman dan pertempuran di kota mereka.
Aleppo, yang dulu merupakan kota terbesar dan paling kosmopolitan di Suriah, berada di zona pertempuran paling sengit dalam perang saudara.
Situasi kini bertambah pelik setelah gempa bermagnitudo 7,8 yang berpusat di Gaziantep, Turkiye, turut mengguncang Aleppo pada Senin (6/2/2023), menewaskan 2.262 orang dari total 11.236 korban jiwa dari kedua negara hingga Rabu (8/2/2023).
Baca juga: Krisis dalam Krisis di Suriah: Rusak karena Perang, Hancur akibat Gempa
Pertempuran sebagian besar dihentikan di Aleppo pada 2016, tetapi baru sejumlah kecil dari banyak bangunan yang rusak dan hancur telah dibangun kembali.
Para warga baru-baru ini juga berkutat dengan kemerosotan ekonomi Suriah yang membuat harga pangan melonjak dan penduduk jatuh ke dalam kemiskinan.
Warga bernama Hovig Shehrian mengatakan, selama perang terburuk di Aleppo pada 2014, dia dan orangtuanya meninggalkan rumah mereka di garis depan karena ada penembakan dan tembakan sniper.
Selama bertahun-tahun, mereka pindah dari permukiman ke permukiman untuk menghindari pertempuran.
“Itu sudah rutinitas harian kami. Setiap kali kami mendengar suara, kami pergi, kami tahu siapa yang harus dihubungi dan apa yang harus dilakukan,” kata pria berusia 24 tahun itu, dikutip dari Associated Press.
“Tapi… kami tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan gempa. Saya khawatir kami akan mati.”
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.