"Dalam pengalaman saya sendiri, dengan hanya menggunakan nama Indonesia saya merasa seperti terbelah," katanya.
"Dulu saya takut menjadi Tionghoa, tapi juga tidak sepenuhnya bisa menerima menjadi (orang) Indonesia."
"Sekarang, generasi seperti saya yang pernah namanya dilarang, ingin kembali dikenal dengan nama Tionghoa. Namun generasi yang tidak dilarang menggunakannya, malah tidak mau menggunakan."
Baca juga: Kenapa di Malaysia Banyak Orang China dan Pakai Nama Asli? Ini Sejarahnya...
Trauma politik yang dialami warga Tionghoa dari peristiwa di tahun 1965 dan juga kerusuhan di tahun 1998 menjadi salah satu alasan warga lebih memilih nama Indonesia, menurut Candra Yap Sekretaris Jenderal Perkumpulan Indonesia Tionghoa (INTI).
"Ketakutan kalau nanti akan dipersulit dalam mengurus KTP di tingkat RT atau kelurahan, saya kira masih kuat juga," kata Candra kepada ABC Indonesia.
Menurutnya nama berbau Indonesia atau berbau Barat menjadi pilihan yang paling aman dilakukan.
"Ketakutan akan kesulitan birokrasi yang akan dialami, apalagi misalnya di daerah terpencil menjadi salah satu sebab. Kemungkinan mereka terkena pungli dan hal lain," katanya lagi.
Secara pribadi, Candra yang lahir di tahun 1983 juga merasakan "upaya menutupi diri", jika dia adalah keturunan Tionghoa meski tinggal di Jakarta.
"Nama saya cuma satu nama yaitu Candra, tanpa ada marga. Sekarang ada aturan baru di mana saya mengalami kesulitan karena nama yang terdaftar harus dua kata," katanya.
Candra mengalami kesulitan karena nama marga ayahnya adalah Yap namun karena orang tuanya tidak membuat surat nikah sehingga dia menggunakan nama marga ibunya di paspor.
Candra menyayangkan keputusan politik sebelumnya sudah banyak menghilangkan budaya Tionghoa.
"Keputusan politik sudah mengubah budaya hanya dalam satu generasi saja, padahal budaya pemberi nama tersebut banyak maknanya bagi orang-orang Tionghoa," katanya.
Baca juga: Kenapa China dan Taiwan Bermusuhan?
Novy Suhardiman yang tinggal di Jakarta memiliki tiga orang anak yang memiliki nama Mandarin.
Nama anak pertamanya, Li Nuo Xin, bahkan tercatat dalam akta kelahiran.
Novy yang pernah kuliah di Xiamen, China, selama empat tahun mengatakan keluarganya masih lekat dengan kebudayaan Tionghoa.
"Kita sih masih mengikuti saja adatnya," kata Novy yang memiliki nama Zheng Ai Ping.
"Kalau anak-anak saya kebetulan dari kecil saya sudah panggil pakai nama Mandarin, kalau di rumah pun kita pakai Mandarin. Jadi mereka sudah biasa."