Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita Warga Keturunan China di Indonesia, Kenapa Jarang Pakai Nama Tionghoa Lagi

Salah satu aturan yang pernah diterapkan adalah keharusan untuk mengganti nama Tionghoa dengan nama Indonesia, meski sekarang tak lagi dilarang.

Handoko Widagdo (57) yang tinggal di Solo, Jawa Tengah mengalami masa perubahan nama tersebut ketika lahir di tahun 1965.

Nama aslinya adalah Khoe Kiem Hiat, nama yang dikenal dalam keluarga dan juga sampai sekolah, sebelum diganti dengan nama Handoko Widagdo.

Menurutnya selain karena aturan pemerintah keluarganya mengganti nama karena tekanan politik yang mereka alami.

"Ayah saya tinggal di pedesaan di Solo dan karena keturunan China dia kemudian dimasukkan sebagai golongan C, dengan kewajiban harus lapor dan di KTP-nya ditandai," katanya kepada ABC Indonesia.

Setelah peristiwa G30S di tahun 1965, mereka yang dianggap mendukung Partai Komunis Indonesia dimasukkan ke dalam berbagai golongan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Golongan C adalah mereka yang dianggap tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa G30S namun dianggap mendukung.

"Jadi kami mengganti nama karena ada unsur takut dan tekanan politik. Karena ayah saya masuk golongan C, kami takut menggunakan nama Tionghoa akan semakin mempersulit kehidupan kami," katanya lagi.

Setelah berkeluarga, Handoko yang memiliki tiga orang anak kemudian melanjutkan tradisi memberi nama Indonesia kepada mereka.

"Tetapi ayah saya sebenarnya masih memberi nama-nama Tionghoa kepada mereka. Namun kalau sekarang ditanya tidak ada yang ingat lagi nama-namanya," kata Handoko.

Tidak tertarik menggunakan nama Tionghoa

Handoko pernah menuliskan kehidupannya menjadi sebuah buku berjudul Anak Cino dan mengatakan belakangan ini dia mendorong anak-anaknya untuk memberi nama Tionghoa kepada keturunan mereka.

"Saya baru saja punya cucu tiga bulan lalu. Juga ada cucu keponakan dari adik saya yang berusia 3 tahun. Saya sempat membicarakan dalam keluarga agar mereka diberi nama Tionghoa, namun orang tuanya tidak tertarik," kata Handoko.

Menurut Handoko, anak-anaknya lebih memilih nama yang berbau Barat atau Kristen bagi keturunan mereka.

"Kami memang dibesarkan dalam keluarga Kristen. Jadi mereka lebih tertarik menggunakan nama Kristen Barat, seperti misalnya Harun dalam bahasa Indonesia menjadi Aron," kata Handoko lagi.

Handoko mengatakan ketertarikan akan nama Tionghoa sekarang ini semakin besar dan dia berusaha agar keluarganya melestarikannya, walau sejauh ini tidak mendapat sambutan.

Menurutnya sangatlah penting untuk kembali mengetahui akar etnis dan budaya Tionghoa.

"Dalam pengalaman saya sendiri, dengan hanya menggunakan nama Indonesia saya merasa seperti terbelah," katanya.

"Dulu saya takut menjadi Tionghoa, tapi juga tidak sepenuhnya bisa menerima menjadi (orang) Indonesia."

"Sekarang, generasi seperti saya yang pernah namanya dilarang, ingin kembali dikenal dengan nama Tionghoa. Namun generasi yang tidak dilarang menggunakannya, malah tidak mau menggunakan."

"Ketakutan kalau nanti akan dipersulit dalam mengurus KTP di tingkat RT atau kelurahan, saya kira masih kuat juga," kata Candra kepada ABC Indonesia.

Menurutnya nama berbau Indonesia atau berbau Barat menjadi pilihan yang paling aman dilakukan.

"Ketakutan akan kesulitan birokrasi yang akan dialami, apalagi misalnya di daerah terpencil menjadi salah satu sebab. Kemungkinan mereka terkena pungli dan hal lain," katanya lagi.

Secara pribadi, Candra yang lahir di tahun 1983 juga merasakan "upaya menutupi diri", jika dia adalah keturunan Tionghoa meski tinggal di Jakarta.

"Nama saya cuma satu nama yaitu Candra, tanpa ada marga. Sekarang ada aturan baru di mana saya mengalami kesulitan karena nama yang terdaftar harus dua kata," katanya.

Candra mengalami kesulitan karena nama marga ayahnya adalah Yap namun karena orang tuanya tidak membuat surat nikah sehingga dia menggunakan nama marga ibunya di paspor.

Candra menyayangkan keputusan politik sebelumnya sudah banyak menghilangkan budaya Tionghoa.

"Keputusan politik sudah mengubah budaya hanya dalam satu generasi saja, padahal budaya pemberi nama tersebut banyak maknanya bagi orang-orang Tionghoa," katanya.

Novy Suhardiman yang tinggal di Jakarta memiliki tiga orang anak yang memiliki nama Mandarin.

Nama anak pertamanya, Li Nuo Xin, bahkan tercatat dalam akta kelahiran.

Novy yang pernah kuliah di Xiamen, China, selama empat tahun mengatakan keluarganya masih lekat dengan kebudayaan Tionghoa.

"Kita sih masih mengikuti saja adatnya," kata Novy yang memiliki nama Zheng Ai Ping.

"Kalau anak-anak saya kebetulan dari kecil saya sudah panggil pakai nama Mandarin, kalau di rumah pun kita pakai Mandarin. Jadi mereka sudah biasa."

Ia pun tidak merasa ada yang salah dengan masih memberikan nama Mandarin pada anak-anaknya.

"Nama saya enggak masalah, enggak terlalu pusingin," ujarnya.

Selain melakukan sembahyang secara rutin, merayakan Imlek dan makan kue bulan, ia juga masih berkomunikasi dalam bahasa Hokkien dan Mandarin di rumah.

"Saya kan ikut suami, keluarganya masih mau pakai bahasa Hokkien waktu ngomong sama anak-cucunya," kata Novy.

"Ya sudah, akhirnya pakai bahasa Hokkien. Saya sendiri enggak begitu bisa bahasa itu, tapi Mandarin saya bisa."

Novy, yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, mengirim anak-anaknya ke sekolah berbahasa Mandarin.

Karenanya, ketiga anaknya bisa berbicara dalam empat bahasa: Hokkien, Mandarin, Bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.

Menurutnya, pemberian nama Tionghoa tersebut lebih sebagai tradisi budaya saja dalam rangka melestarikan marga leluhur.

"Nama Tionghoa anak saya Tjeuw Chuen Xiang dan nama Indonesianya adalah Eleanor Jillian Kay dan kami memanggilnya setiap hari sebagai Jill," kata Merlin mengenai anak perempuanya yang berusia hampir dua tahun.

Merlinna merasa pemberian nama Tionghoa tetap penting sebagai bagian dari sejarah kehidupan mereka, meski tidak tercatat secara resmi di akta kelahiran.

"Kalau tradisi ini dihilangkan ke depannya untuk generasi-generasi seterusnya akan sangat disayangkan karena mereka tidak akan mengenal urutan keluarga dari sejak dulunya yang berasal dari China Daratan," katanya.

Menurutnya kebiasaan memberikan nama Tionghoa masih banyak dilakukan kalangan keluarga dekatnya.

"Nama Tionghoa ini diberikan oleh ayah mertua saya untuk cucunya, dan dipilih berdasarkan bulan dan tahun kelahiran sehingga memiliki arti tertentu," kata Merlin.

"Juga sekalian melestarikan nama marga."

Simak artikel menarik lainnya dari ABC Indonesia.

https://www.kompas.com/global/read/2023/01/22/081800370/cerita-warga-keturunan-china-di-indonesia-kenapa-jarang-pakai-nama

Terkini Lainnya

Demo Protes Perang Gaza Terus Meningkat di Seluruh Kampus AS

Demo Protes Perang Gaza Terus Meningkat di Seluruh Kampus AS

Global
Sejarah Panjang Hubungan Korea Utara dan Iran

Sejarah Panjang Hubungan Korea Utara dan Iran

Internasional
Koalisi AS Masih Bertarung Lawan Houthi, Jatuhkan 4 Drone dan 1 Rudal Anti-Kapal

Koalisi AS Masih Bertarung Lawan Houthi, Jatuhkan 4 Drone dan 1 Rudal Anti-Kapal

Global
Rangkuman Hari Ke-791 Serangan Rusia ke Ukraina: Bantuan Baru AS | Kiriman Rudal ATACMS

Rangkuman Hari Ke-791 Serangan Rusia ke Ukraina: Bantuan Baru AS | Kiriman Rudal ATACMS

Global
AS Diam-diam Kirim Rudal Jarak Jauh ATACMS ke Ukraina, Bisa Tempuh 300 Km

AS Diam-diam Kirim Rudal Jarak Jauh ATACMS ke Ukraina, Bisa Tempuh 300 Km

Global
[POPULER GLOBAL] Demo Perang Gaza di Kampus Elite AS | Israel Tingkatkan Serangan

[POPULER GLOBAL] Demo Perang Gaza di Kampus Elite AS | Israel Tingkatkan Serangan

Global
Biden Teken Bantuan Baru untuk Ukraina, Dikirim dalam Hitungan Jam

Biden Teken Bantuan Baru untuk Ukraina, Dikirim dalam Hitungan Jam

Global
Israel Serang Lebanon Selatan, Sasar 40 Target Hezbollah

Israel Serang Lebanon Selatan, Sasar 40 Target Hezbollah

Global
Situs Web Ini Tawarkan Kerja Sampingan Nonton Semua Film Star Wars, Gaji Rp 16 Juta

Situs Web Ini Tawarkan Kerja Sampingan Nonton Semua Film Star Wars, Gaji Rp 16 Juta

Global
Wanita Ini Didiagnosis Mengidap 'Otak Cinta' Setelah Menelepon Pacarnya 100 Kali Sehari

Wanita Ini Didiagnosis Mengidap "Otak Cinta" Setelah Menelepon Pacarnya 100 Kali Sehari

Global
Kakarratul, Tikus Tanah Buta yang Langka, Ditemukan di Pedalaman Australia

Kakarratul, Tikus Tanah Buta yang Langka, Ditemukan di Pedalaman Australia

Global
Kisah Truong My Lan, Miliarder Vietnam yang Divonis Hukuman Mati atas Kasus Penipuan Bank Terbesar

Kisah Truong My Lan, Miliarder Vietnam yang Divonis Hukuman Mati atas Kasus Penipuan Bank Terbesar

Global
Wakil Menteri Pertahanan Rusia Ditahan Terkait Skandal Korupsi

Wakil Menteri Pertahanan Rusia Ditahan Terkait Skandal Korupsi

Global
Olimpiade Paris 2024, Aturan Berpakaian Atlet Perancis Berbeda dengan Negara Lain

Olimpiade Paris 2024, Aturan Berpakaian Atlet Perancis Berbeda dengan Negara Lain

Global
Adik Kim Jong Un: Kami Akan Membangun Kekuatan Militer Luar Biasa

Adik Kim Jong Un: Kami Akan Membangun Kekuatan Militer Luar Biasa

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke