Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

USS Nautilus: Kapal Selam Nuklir Pertama AS yang Jelajahi Dunia Melalui Bawah Es Arktik

Kompas.com - 04/07/2022, 22:59 WIB
BBC INDONESIA,
Bernadette Aderi Puspaningrum

Tim Redaksi

KOMPAS.com - USS Nautilus adalah kapal selam nuklir pertama Amerika Serikat (AS) yang berlayar di bawah lapisan es ke Kutub Utara pada 1958. Misinya adalah untuk membuka dunia baru untuk dijelajahi para ilmuwan.

Misi perdana dari kapal selam nuklir pertama di dunia itu adalah misi rahasia dengan nama sandi 'Operation Sunshine'.

Baca juga: Kapal Selam Rusia Tembakkan Rudal di Laut Jepang

Perjalanan itu dilakukan dengan kapal selam sepanjang 97 meter dan 116 awaknya sepenuhnya menyelam di bawah lapisan es. Ini adalah sebuah prestasi yang mustahil sebelum penemuan propulsi bertenaga nuklir padat.

Sebelum USS Nautilus, kapal selam harus muncul ke permukaan, atau setidaknya menaikkan snorkel ke atas permukaan laut untuk mengambil udara yang dibutuhkan mesin diesel dan mengisi baterai untuk penggerak listrik.

Tetapi dengan reaktor nuklir, ISS Nautilus tidak perlu melakukan itu. Faktanya, kapal selam ini bisa berada jauh di bawah permukaan air selama tiga hari sebelum mencapai Kutub, dan tidak sekalipun muncul ke permukaan hingga di dekat pantai Greenland, pada 7 Agustus 1958.

Ini artinya, Nautilus telah menghabiskan seminggu di bawah ombak dingin dan es yang membeku.

Dwight D Eisenhower, Presiden AS saat itu mengirimkan ucapan selamatnya kepada para awak kapal menyebut misinya sebagai "pencapaian luar biasa".

Baca juga: China Jual Kapal Selam ke Thailand, tapi Tidak Ada Mesinnya

Pelopor senjata pernghancur dan pertahanan tersembunyi

"Pelayaran itu adalah demonstrasi yang mengesankan dari sebuah revolusi dalam perang maritim," kata Kapten Justin Hughes, pensiunan komandan kapal selam nuklir Angkatan Laut Kerajaan Inggris dan sekarang sekretaris kehormatan Museum Kapal Selam Angkatan Laut Kerajaan Inggris.

"Ini memberi bukti bahwa kapal selam bertenaga nuklir dapat beroperasi di bawah air, sehingga tak terdeteksi, untuk misi yang lama."

Sekarang ini, kapal selam bertenaga nuklir dapat berada jauh di bawah permukaan laut selama berbulan-bulan. Ini menjadikannya sebuah senjata penghancur dan pertahanan yang tersembunyi, terlebih dengan torpedo dan rudal nuklir yang kerap dimuatnya.

Misi Nautilus, selain merupakan ajang pembuktian potensi militer kapal selam nuklir, juga menjadi tonggak sejarah ilmiah, yang membantu menyiapkan pijakan untuk era baru eksplorasi dan penemuan tentang dunia aneh di bawah lapisan es Arktik.

Namun, bahkan hingga sekarang, misi pelayaran di bawah es-es Arktik bukanlah hal yang rutin dilakukan.

"Tantangan operasi kapal selam di lingkungan ini tidak boleh diremehkan," kata Hughes.

Baca juga: Suami Istri Mengaku Bersalah Coba Jual Rahasia Kapal Selam Nuklir AS ke Asing

Ada serpihan-serpihan es yang dapat mengganggu instrumen sonar kapal selam. Kru juga harus siap menghadapi masalah yang disebabkan oleh kondensasi. Kemudian ada keadaan isolasi total dan keheningan yang nyaris absolut.

Lebih mendasar lagi, jika terjadi keadaan darurat di kapal seperti banjir, kebakaran, atau kehilangan tenaga, ada bermeter-meter lapisan es Arktik di antara kapal selam dan udara segar.

"Semua ini butuh konsentrasi yang tinggi. Misi pelayaran di bawah es harus dilakukan dengan tingkat kesiapan kru yang tinggi untuk menanggapi keadaan darurat. Ini mengharuskan awak kapal selalu siaga," jelas Hughes

Kapal selam Soviet mengikuti jejak USS Nautilus, juga mencapai Kutub Utara yang membeku.

GETTY IMAGES via BBC INDONESIA Kapal selam Soviet mengikuti jejak USS Nautilus, juga mencapai Kutub Utara yang membeku.

Ilmu pengetahuan vs data militer

Beberapa orang mungkin tidak terlalu senang bekerja di bawah bermeter-meter es, tapi yang lain memandang dengan iri.

Untuk para ahli kelautan, kapal selam menyediakan platform yang sempurna untuk menggali pengetahuan tentang Arktik.

"Saya selalu terpesona dengan kapal selam," kata Jamie Morison, sekarang seorang ahli kelautan senior di Pusat Sains Polar di Seattle.

Akhirnya pada 1993, bersama enam rekannya, dia diberi kesempatan tersebut. Pengalaman itu katanya, "adalah mimpi yang menjadi kenyataan."

Baca juga: Israel Selidiki Dugaan Korupsi Pembelian Kapal Selam dari Jerman

Ekspedisi Morison di bawah es Arktik dilakukan dengan USS Pargo yang mirip dengan USS Nautilus. Hanya saja kapal selam serang bertenaga nuklir ini memiliki panjang 89 meter (294 kaki).

Ketua komite penasihat Scicex saat ini, Jackie Richter-Menge dari University of Alaska, mengatakan penyelidikan soal cakupan dan ketebalan es Arktik, arus laut dan lanskap dasar laut saling menguntungkan bagi para ilmuwan dan awak kapal selam.

"Para ilmuwan belajar tentang Samudra Arktik dan angkatan laut belajar lebih banyak tentang lingkungan tempat mereka beroperasi," katanya.

"Kapal selam memberikan kita akses unik ke lingkungan yang keras.Itu termasuk memahami berbagai hal saat ini, dan juga mampu memahami seperti apa lingkungan di masa depan."

Namun tantangan nyata dalam menyatukan para ilmuwan dan militer adalah bahwa kapal selam beroperasi pada misi super rahasia, sementara para ilmuwan suka mempublikasikan data mereka secara terbuka untuk dilihat semua orang di dunia.

Ketika data berpotensi mengungkapkan detail operasional atau navigasi militer, dapat dimengerti mengapa ada penolakan untuk berbagi informasi.

Alhasil, ada jeda waktu antara mengumpulkan dan merilis data apa pun," kata Richter-Menge.

Baca juga: Kapal Selam Rusia Tabrak Kapal Perang Inggris di Atlantik Utara

Tantangan bekerja di kapal selam

Siapa pun yang melakukan perjalanan di kapal selam harus bisa bekerja dalam ruang sempit.

"Sepertinya orang-orang yang bekerja di dalam kapal selam harus memiliki sikap dasar sopan. Saya belum pernah mendengar orang bilang 'permisi' sebanyak yang saya dengar di kapal selam, karena kemana pun Anda pergi, pasti Anda harus berdesakan dengan orang lain," kata Morison.

"Pada saat yang bersamaan, semua orang ini adalah pejuang." Tapi, dia melanjutkan, tidak semua orang bisa langsung beradaptasi dengan baik.

"Saya melihat salah satu rekan saya tidur di ruang torpedo. Dia hanya mengenakan jaket dan tidur meringkuk di lambung kapal," kata Morison.

"Saya bertanya kepadanya, apa yang terjadi. Dan dia bilang, 'suatu malam saya merangkak ke tempat tidur saya, melihat bentuknya, dan berkata pada diri sendiri: benda ini seperti peti mati', dan sejak saat itu dia tidak bisa tidur di ranjangnya."

USS Nautilus membawa awak lebih dari 100 orang dalam misi perintisnya.

GETTY IMAGES via BBC INDONESIA USS Nautilus membawa awak lebih dari 100 orang dalam misi perintisnya.

Baca juga: Makin Perkasa, Rusia Tambah 2 Kapal Selam Nuklir

Pogram Scicex AS masih beroperasi, dan data ilmiah masih terus dikumpulkan dan dibagikan, tapi para ilmuwan tidak lagi dapat bergabung dengan awak kapal selam.

Seperti USS Nautilus, Morison menggambarkan bahwa USS Pargo yang dinaikinya dilengkapi dengan sirip di menara conning yang bisa berputar 90 derajat, untuk menembus es seperti pisau ketika muncul di antara gumpalan es yang terapung.

"Hanya dengan begitu kru mendapatkan 'kebebasan es' dan bisa keluar ke es."

Setelah memecahkan setiap rekor kecepatan dan daya tahan kapal selam, USS Nautilus melakukan pelayaran terakhirnya pada 1979 dan sekarang dibuka di Connecticut sebagai bagian dari museum maritim.

Peranannya lebih lanjut dari misi di Arktik tetap dirahasiakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Global
Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Global
Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Global
PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

Global
Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Global
4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

Global
Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Global
Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Global
Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Global
Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Global
Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Global
Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Global
Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Global
Rusia Klaim Rebut 5 Desa dalam Pertempuran Sengit di Kharkiv

Rusia Klaim Rebut 5 Desa dalam Pertempuran Sengit di Kharkiv

Global
Di Balik Serangan Israel ke Rafah yang Bahkan Tak Bisa Dihalangi AS

Di Balik Serangan Israel ke Rafah yang Bahkan Tak Bisa Dihalangi AS

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com