Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Kapal Pengangkut Budak Terakhir dari Afrika ke AS

Kompas.com - 13/02/2022, 22:01 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Penemuan sisa-sisa kapal Clotilda yang tenggelam 160 tahun lalu menghadirkan kehidupan baru ke sebuah desa kecil yang dibangun oleh para penyintas perbudakan.

"Sungguh gila berpikir mereka akan berlayar melewati daerah ini," kata Darron Patterson, sambil menarik mobilnya ke sebidang rumput yang menghadap ke Sungai Mobile, Alabama, AS, yang keruh.

Sebagai pimpinan Asosiasi Keturunan Clotilda, Patterson fasih berbicara tentang pelayaran Clotilda, sebuah kapal pengangkut budak terakhir yang diketahui mencapai AS.

Baca juga: Ruang Budak Ditemukan di Pompeii, Ungkap Sulitnya Hidup Warga Miskin 2.000 Tahun Lalu

Kakek buyutnya adalah Kupollee, yang kemudian berganti nama menjadi Pollee Allen. Dia adalah salah satu dari 110 laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang disekap secara kejam dari Benin di Afrika Barat, lalu dibawa ke AS di atas kapal yang terkenal keji tersebut.

Kisah bagaimana kerabat Patterson tiba di AS dengan kapal budak ilegal dimulai sebagai taruhan yang sangat sembrono.

Pada 1860, atau sekitar 52 tahun setelah pemerintah AS melarang pengiriman budak, pebisnis kaya dari Alabama bernama Timothy Meaher bertaruh dapat mengatur pengangkutan orang Afrika.

Orang-orang Afrika yang dia sebut diculik untuk berlayar di bawah pengawasan pemerintah federal dan dapat menghindari larangan.

Pertaruhan itu belakangan memang berhasil. Dia dibantu kapten kapal bernama William Foster yang mengemudikan kapal berlayar ganda setinggi 24 meter.

Kapal itu mengarungi Samudera Atlantik selama enam pekan. Kapal menyelinap ke Teluk Mobile pada 9 Juli 1860, di bawah selubung kegelapan.

Baca juga: Taliban Minta Daftar Gadis dan Janda untuk Dinikahi sebagai Budak

Untuk menyembunyikan bukti kejahatan, kapal layar yang terbuat dari bingkai kayu ek putih dan papan pinus kuning selatan itu dibakar, kemudian ditenggelamkan ke Sungai Mobile.

Di sungai yang dalam itu, kapal tersebut lalu menjadi tersembunyi di bawah air, keberadaannya dihilangkan.

Fakta itu tenggelam sampai 160 tahun setelahnya. Kala itu sungai surut secara tidak biasa. Seorang wartawan lokal bernama Ben Raines lalu menemukan bangkai kapal karam yang besar dan megah, yang awalnya dianggap berkaitan dengan Clotilda.

Sebuah mural kapal Clotilda terpasang di pinggir jalan yang memisahkan dua sisi permukiman Africatown.ALAMY via BBC INDONESIA Sebuah mural kapal Clotilda terpasang di pinggir jalan yang memisahkan dua sisi permukiman Africatown.

Namun temuan itu ternyata penanda palsu. Meski begitu, penemuan itu menghidupkan kembali minat dan menyebabkan pencarian ekstensif yang melibatkan banyak pihak, termasuk oleh Komisi Sejarah Alabama, National Geographic Society, Search Inc, dan The Slave Wrecks Project.

Setelah melewati upaya yang melelahkan, pada Mei 2019 akhirnya diumumkan bahwa bangkai kapal Clotilda ditemukan.

Saat ini, atau sekitar tiga tahun setelahnya, Kota Mobile di Alabama berada di ambang ledakan pariwisata. Minat terhadap kisah Kapal Clotilda dan kehidupan para tawanannya yang tangguh perlahan meningkat.

Baca juga: Para Ayah di Afghanistan Takut Putri Mereka Akan Dipaksa Jadi Budak Taliban Setelah Berkuasa

Patterson setuju mengantar BBC berkeliling Africatown, sebuah permukiman yang menjadi tempat tinggal banyak penyintas perbudakan kapal itu. Patterson juga tumbuh dewasa di daerah ini.

BBC memulai tur di sebidang tanah di tepi Sungai Mobile ini, di bawah jembatan antarnegara bagian yang menjulang tinggi. Di sinilah sekelompok keturunan penyintas kapal budak Clotilda bertemu setiap tahun dalam Festival Under the Bridge mereka.

Lewat ajang itu, mereka hendak menyuarakan bagaimana nenek moyang mereka sampai di sini.

Namun tidak ada festival pada hari saat BBC datang ke sana. Suasananya sunyi, hanya terdapat seorang perempuan dan cucunya yang bermain di tepi air berawa, di bawah dengung lalu lintas.

Di mobilnya, Patterson, mantan penulis olahraga yang sekarang berusia 60-an tahun, mengenang Africatown sebagai tempat yang berkembang dan mandiri.

"Satu-satunya momen kami meninggalkan komunitas ini adalah saat membayar tagihan listrik," ujarnya. Selain kantor pos, tempat ini menyediakan apapun yang dibutuhkan warga.

Baca juga: Korea Utara Sebut Grup Band K-pop Seperti Budak yang Dicuri Tubuh, Pikiran, dan Jiwa Mereka

Terletak lima kilometer di sisi utara pusat kota Mobile, Africatown didirikan oleh 32 penyintas kapal budak Clotilda. Mereka selamat dan hidup pada era emansipasi di akhir Perang Saudara tahun 1865.

Kerinduan terhadap tanah air mendorong mereka mendirikan komunitas yang hangat, yang memadukan tradisi Afrika dan cara hidup tradisional warga Amerika, seperti memelihara ternak dan mengelola lahan pertanian.

Sebagai salah satu kota pertama yang didirikan dan dikendalikan oleh keturunan Afrika-Amerika di AS, Africatown memiliki gereja sendiri, tempat pangkas rambut, dan berbagai toko, yang salah satunya dimiliki paman Patterson.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Selama 2024, Heatstroke di Thailand Sebabkan 61 Kematian

Selama 2024, Heatstroke di Thailand Sebabkan 61 Kematian

Global
Mesir Ungkap Kunci Hamas dan Israel jika Ingin Capai Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza

Mesir Ungkap Kunci Hamas dan Israel jika Ingin Capai Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza

Global
Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Kairo Berakhir Tanpa Kesepakatan

Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Kairo Berakhir Tanpa Kesepakatan

Global
PRT di Thailand Ini Ternyata Belum Pasti Akan Terima Warisan Rp 43,5 Miliar dari Majikan yang Bunuh Diri, Kok Bisa?

PRT di Thailand Ini Ternyata Belum Pasti Akan Terima Warisan Rp 43,5 Miliar dari Majikan yang Bunuh Diri, Kok Bisa?

Global
Rangkuman Hari Ke-806 Serangan Rusia ke Ukraina: Presiden Pecat Pengawalnya | Serangan Drone Terjauh Ukraina

Rangkuman Hari Ke-806 Serangan Rusia ke Ukraina: Presiden Pecat Pengawalnya | Serangan Drone Terjauh Ukraina

Global
Meski Diprotes di Kontes Lagu Eurovision, Kontestan Israel Maju ke Final

Meski Diprotes di Kontes Lagu Eurovision, Kontestan Israel Maju ke Final

Global
Tasbih Antikuman Diproduksi untuk Musim Haji 2024, Bagaimana Cara Kerjanya?

Tasbih Antikuman Diproduksi untuk Musim Haji 2024, Bagaimana Cara Kerjanya?

Global
Kata Netanyahu Usai Biden Ancam Setop Pasok Senjata ke Israel

Kata Netanyahu Usai Biden Ancam Setop Pasok Senjata ke Israel

Global
Hubungan Biden-Netanyahu Kembali Tegang, Bagaimana ke Depannya?

Hubungan Biden-Netanyahu Kembali Tegang, Bagaimana ke Depannya?

Global
Kampus-kampus di Spanyol Nyatakan Siap Putuskan Hubungan dengan Israel

Kampus-kampus di Spanyol Nyatakan Siap Putuskan Hubungan dengan Israel

Global
Seberapa Bermasalah Boeing, Produsen Pesawat Terbesar di Dunia?

Seberapa Bermasalah Boeing, Produsen Pesawat Terbesar di Dunia?

Internasional
Terkait Status Negara, Palestina Kini Bergantung Majelis Umum PBB

Terkait Status Negara, Palestina Kini Bergantung Majelis Umum PBB

Global
Hamas Sebut Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza Kini Tergantung Israel

Hamas Sebut Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza Kini Tergantung Israel

Global
Antisemitisme: Sejarah, Penyebab, dan Manifestasinya

Antisemitisme: Sejarah, Penyebab, dan Manifestasinya

Internasional
Terjadi Lagi, Perundingan Gencatan Senjata Gaza Berakhir Tanpa Kesepakatan

Terjadi Lagi, Perundingan Gencatan Senjata Gaza Berakhir Tanpa Kesepakatan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com