Ada pula Mobile County Training School, yaitu sebuah sekolah umum yang menjadi tulang punggung masyarakat setempat.
Namun, lingkungan yang dulu semarak ini mengalami masa-masa sulit ketika jalan bebas hambatan dibangun di jantung daerah ini pada 1991. Polusi industri juga membuat banyak penduduk yang tersisa akhirnya berkemas dan pergi.
"Kami bahkan tidak bisa menjemur cucian karena akan tertutup abu produk dari tangki penyimpanan minyak dan pabrik di pinggiran Africatown," kata Patterson.
Komunitas Africatown yang membengkak menjadi 12.000 orang pada 1960, kini menyusut hingga hanya sekitar 2.000 orang.
Eksodus, kemiskinan, dan bekas kerusakan lingkungan terlihat saat Patterson melaju lebih jauh ke Africatown. Kawasan itu dipenuhi pabrik-pabrik yang ditinggalkan.
Tanah dan rumah-rumah kosong terlihat di sela-sela jalan perumahan yang tenang, beberapa di antaranya dalam keadaan rusak parah. Dinding rumah tak berpenghuni itu membusuk dan ditumbuhi tanaman merambat.
Namun Africatown berubah, sekali lagi. Setelah penemuan bangkai kapal, muncul keinginan untuk membangun kembali dan melestarikan tempat bersejarah ini.
Perhatian sekelompok orang dan dana memengaruhi segalanya, dari hubungan pribadi, sejarah hingga masa depan permukiman tersebut.
Meski kisah kapal pengangkut budak Clotilda diketahui dan kehidupan para penyintasnya didokumentasikan secara baik dalam foto, wawancara, bahkan cuplikan film, tanpa bukti bangkai kapal, sejarahnya akan tetap terkubur.
Dan tanpa penemuan itu, masyarakat kulit putih tidak akan berkepentingan untuk mengakui fakta tentang sekelompok orang Afrika yang datang untuk diperbudak ini.
Penemuan bangkai kapal dapat mempertegas kisah para penyintas dan memulihkan kebenaran setelah beberapa dekade penyangkalan.
Hampir tiga tahun sejak penemuan bangkai Clotilda, sisa-sisa kapal itu menjalani eksplorasi arkeologi yang ekstensif. Salah satu tujuannya untuk menentukan cara mengangkatnya dengan aman dari bawah air.
Pemberitaan di media massa dan dorongan kepentingan publik mengalirkan dana revitalisasi berlimpah dari pemerintah, kelompok masyarakat, dan lembaga swasta untuk Africatown.
Salah satunya dari The Africatown Redevelopment Corporation yang memberi hibah khusus untuk pemulihan rumah rusak dan pembangunan ulang di tanah yang terlantar.
Ditambah pembayaran 3,6 juta dollar AS (Rp 51 miliar) dari kompensasi tumpahan minyak British Petroleum yang dialokasikan untuk pembangunan kembali Africatown Welcome Center. Pembangunan ulang gedung ini telah lama ditunggu-tunggu sejak tersapu Badai Katrina pada 2005.
Baca juga: Pengadilan Korea Selatan Perintahkan Jepang untuk Beri Kompensasi kepada Budak Seks Perang Dunia II
Patterson kemudian mengantar BBC ke rumah neneknya. Kami menepi untuk berbincang dengan tetangganya yang lanjut usia di beranda rumahnya. "Mohon tidak memotretku," ujarnya dengan sopan.
Tidak seperti beberapa keluarga keturunan lainnya, dia memberi tahu saya, ketika tumbuh dewasa dia hanya diberi tahu sedikit tentang leluhurnya.
"Saya pikir orang tua saya mungkin malu," kenangnya.
Rasa malu itu menurutnya muncul karena para penyintas kapal pengangkut budak itu telah menghadapi banyak hinaan, termasuk ditelanjangi selama perjalanan.
"Itu pasti menghancurkan harga diri mereka," kata Patterson.
Pengumuman penemuan bangkai kapal pada 2019 membangkitkan rasa ingin tahu Patterson. Dia mulai mengumpulkan peninggalan leluhurnya hingga pada titik seluruh kehidupannya berubah.
Baca juga: Perempuan Berdaya: Phillis Wheatley, Seorang Budak Wanita Kulit Hitam Merdeka karena Puisi
Sejak saat itu dia menjadi orang yang aktif memastikan kisah leluhurnya diceritakan secara akurat, termasuk saat berperan dalam film berjudul Descendant yang ditayangkan perdana di Sundance Film Festival 2022.
Dia juga berperan menjadi produser dalam film dokumenter yang akan segera tayang, berjudul The 110: The Last Enslaved Africans Brought to America. Film ini berkisah tentang para penyintas kapal Clotilda.
Bagi Patterson, penemuan kapal itu membawa harapan baru bahwa Africatown akan bangkit.