Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[KALEIDOSKOP 2020] Catatan Konflik Warnai Pilpres AS hingga Jelang Pelantikan Presiden Terpilih

Kompas.com - 30/12/2020, 13:43 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

KOMPAS.com - Pemilihan umum (pemilu) Amerika Serikat (AS) tahun ini disebut-sebut berjalan kacau dengan berbagai konflik yang merwarnai dari faktor dalam maupun luar negeri.

Hingga saat ini beberapa konflik masih bergejolak, ketika Dewan Elektoral atau electoral college telah mengkonfirmasi kemenangan Joe Biden sebagai presiden terpilih AS, pada Senin (14/12/2020).

Pelantikan Joe Biden dan Kamala Harris sebagai presiden dan wakil presiden AS ke-46 dijadwalkan berlangsung pada 20 Januari 2020, untuk mulai menggantikan pemerintahan Donald Trump dan Mike Pence.

Berikut Kompas.com merangkum berita yang telah ada terkait beberapa konflik yang menghantam pemilu AS 2020:

Baca juga: Enggan Ucapkan Selamat ke Joe Biden, Presiden Bolsonaro: Apakah Pemilu AS sudah Selesai?

1. Black Lives Matter

Konflik rasial terhadap orang kulit hitam menjadi salah satu yang terbesar mewarnai proses pemilu AS 2020 dengan adanya korban jiwa dan menimbulkan aksi protes hampir diseluruh negeri, yang dikenal dengan nama Blck Lives Matter (BLM).

Aksi BLM dipicu oleh kasus kematian orang kulit hitam George Floyd, yang ditindih lehernya oleh polisi Minneapolis yang berkulit putih.

Peristiwa terjadi pada 25 Mei 2020, ketika Floyd yang tidak bersenjata dituduh mencuri dan ditindih lehernya oleh polisi dengan kakinya higga tewas, meski sempat ia mengatakan tidak bisa bernapas.

Setelah kasus Floyd, pada 23 Agustus, terjadi kasus penembakan 7 kali terhadap Jacob Blake oleh polisi di negara bagian Wisconsin.

Pada 13 Maret, terjadi kasus Breonna Taylor yang ditembak 8 kali hingga tewas di apartemenya di Louisville, dalam aksi penyelidikan narkoba oleh polisi setempat.

Serentetan aksi yang melukai orang kulit hitam oleh polisi kulit putih, berbuntut panjang menjadi aksi kerusuhan, kekerasan, dan pelecehan antarras di berbagai wilayah AS.

Sementara dalam menangani BLM, Presiden Donald Trump dipandang gagal dan cenderung tidak peduli.

“Ngomong-ngomong, lebih banyak orang kulit putih (yang dibunuh). Lebih banyak orang kulit putih,” kata Trump menanggapi pertanyaan soal banyaknya orang kulit hitam yang dibunuh aparat kulit putih.

Tingkat penembakan fatal kepada komunitas orang kulit hitam hampir 3 kali lebih tinggi, yang artinya orang kulit hitam 3 kali lebih berpotensi terbunuh oleh polisi, ketimbang orang kulit putih.

Trump menjadi sorotan setelah dia sempat mengancam akan menerjunkan militer guna membendung demonstrasi yang sudah menjalar ke ratusan kota di AS.

Selain itu, dia sempat meminta kepada para gubernur negara bagian untuk mengambil pendekatan lebih keras guna mencegah kerusuhan.

Pada 8 September, Trump mengklaim bahwa para aktivis BLM adalah orang-orang yang "anarkis, tukang pengunjuk rasa" dan menyebut mereka sebagai "preman" di Twitter-nya.

Dalam debat presiden terakhir lawan tandingnya, Joe Biden, sempat layangkan kritikan terhadap rasialismenya.

"Ayolah, orang ini dog-whistle yang sebesar klakson," sindir Biden merujuk pada rasialisme dog-whistle.

Akan tetapi Trump saat mendapat jatah berbicara, mengklaim empat tahun masa pemerintahannya telah menjadi waktu perbaikan bersejarah bagi orang Afrika-Amerika.

"Saya orang paling tidak rasis di ruangan ini," katanya.

"Sejak tidak adanya Abraham Lincoln, tidak ada yang melakukan seperti apa yang saya lakukan untuk komunitas Kulit Hitam," tambah Trump mengacu pada Lincoln presiden AS yang menghapus perbudakan pada 1863.

Baca juga: Para Pejabat di AS Nyatakan Pemilu AS Aman, Tolak Klaim Donald Trump

2. Perselisihan nuklir Iran

Masalah AS terhadap perkembangan nuklir Iran merupakan konflik mencolok di tengah pemilu AS 2020.

Konflik kedua negara semakin panas sejak Trump pada 2018 menarik Washington keluar dari kesepakatan nuklir bersama Teheran.

AS sangat ketat menjatuhkan sanksi kepada Iran terkait perkembangan nuklir, yang imbasnya mencekik ekonomi republik Islam tersebut.

Sanksi-sanksi AS menyasar ke industri minyak, hubungan perbankan penting Iran, dan sektor ekonomi lainnya.

Pada Minggu (20/9/2020), Iran meminta seluruh dunia bersatu melawan AS, setelah secara sepihak menyatakan sanksi PBB terhadap negara republik Islam itu berlaku lagi.

"Kami berharap masyarakat internasional dan semua negara di dunia melawan tindakan sembrono oleh rezim di Gedung Putih, dan berbicara dengan satu suara," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Saeed Khatibzadeh pada konferensi pers di Teheran.

Sementara, Iran diketahui vokal "mengawal" pilpres AS 2020 dengan kritikan frontal maupun sindiran.

Seperti komentar pedas pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei setelah berlangsungnya pilpres 3 November yang kacau.

Iran mengatakan pemungutan suara itu telah mencerminkan realitas demokrasi AS.

"Benar-benar tontonan!" kata pemimpin tertinggi Iran, Khamenei di Twitter pada Rabu malam waktu setempat (4/11/2020).

Kekacauan pemilu AS 2020 dipicu tuduhan tanpa bukti dari Trump soal kecurangan oleh kubu lawan politiknya.

Tuduhan tersebut menciptkan gejolak nasional bahkan di dalam tubuh partainya sendiri, serta menjadi sorotan dunia internasional.

Setelah lawan politik Trump, Joe Biden unggul dalam pilpres, Presiden Iran Hassan Rouhani pada Minggu (8/11/2020) mengatakan, pemerintahan AS yang baru memiliki kesempatan untuk "mengkompensasi kesalahan sebelumnya."

"Kebijakan pemerintah AS yang merugikan dan salah selama tiga tahun terakhir ini tidak hanya dikecam oleh orang-orang di seluruh dunia, tetapi juga ditentang oleh rakyat (AS) dalam pemilu baru-baru ini," ucap Rouhani.

Penasihan presiden Iran, Hesamedin Ashena, juga berkomentar melalui akun Twitter-nya pada Sabtu (7/11/2020), Iran "bertahan dengan gagah berani sampai pengecut itu pergi".

Baca juga: Sebut Pemilu AS Aman, Direktur Badan Keamanan Siber Malah Dipecat Trump

3. Kontroversi penanganan Covid-19

Pandemi Covid-19 menjadi sorotan utama para pemilih Amerika, karena jumlah kasusnya mencatat rekor tertinggi di dunia.

Namun, Donald Trump sebagai calon presiden petahana merespons dengan remeh. Trump mengklaim virus corona seperti flu biasa dan akan melemah pada April.

Trump juga menolak aturan kemanan dan kesehatan Covid-19 dengan beberapa kali tidak menggunakan masker dalam kegiatan publik yang besar dan mengadakan kampanye tanpa memperhatikan jarak sosial.

Dalam buku baru karya jurnalis Bob Woodward, terungkap bahwa Trump dengan sengaja meremehkan keparahan virus corona di depan publik.

Trump mengatakan bahwa ia meminimalisasi dampak pandemi virus corona di depan umum, tapi ia menyadari sejak awal tentang bahaya unik yang ditimbulkan oleh Covid-19.

Pengakuan Trump direkam oleh Woodward, yang kini terdokumentasikan di dalam sebuah buku yang dirilis pada 8 pekan sebelum hari pemilihan presiden AS.

Setelah pengakuan itu dirilis, Trump gelar konferensi pers dan dengan keras membantah telah membohongi warga Amerika.

"Saya tidak berbohong."

"Aku tidak ingin melompat-lompat dan mulai berteriak, 'matilah! matilah!" bantahnya.

Trump juga menciptakan kontroversi dengan menyebut pandemi virus corona sebagai "virus China" yang menyebabkan dirinya mendapatkan kecaman sebagai "presiden rasis".

Saat kepercayaan warga terhadap Trump dalam penanganan pandemi Covid-19 mulai terkikis, Joe Biden berjanji untuk menangani pandemi yang telah menewaskan lebih dari ratusan ribu orang di AS.

Ia juga menyindir Trump dengan berkata, "Siapa pun yang bertanggung jawab atas banyak kematian itu" tidak boleh tetap menjadi presiden.

"Kita akan memasuki musim dingin yang gelap. Musim dingin yang gelap," kata mantan wakil presiden era Barack Obama itu sambil berjanji, "Saya akan mengakhiri ini" - walau dia tidak menjabarkan bagaimana caranya.

Sementara itu Trump yang pemerintahannya tercoreng dengan penanganan pandemi Covid-19 berkata, "(Virus) itu sedang menghilang".

Baca juga: Curhatan Kecewa Trump karena FBI Tidak Membantunya Tangani Penipuan Pemilu AS

4. "Sensasi" media sosial

Pemilu AS 2020 turut diwarnai dengan konflik dari platform berbagi informasi era modern kini.

Kampanye pilpres AS yang digelar calon presiden petahana dikabarkan sempat "dikerjai" netizen.

Beredar video imbauan di TikTok serta jejaring sosial lainnya, seperti Instagram dan Twitter, yang meminta pengguna untuk mengosongkan tempat kampanye, dengan cara memborong tiket kampanye di situs resmi Trump.

Setelah membeli tiket, mereka diminta untuk tidak datang ke acara tersebut. Sehingga, kursi yang dipesan menjadi kosong.

Sekelompok senator AS dari Partai Republik sempat menyampaikan kekhawatirannya soal potensi ancaman dari aplikasi video asal China itu yang akan ikut campur dalam pilpres AS.

Mereka takut China mempolitisasi informasi dari TikTok yang dapat untuk menabur perselisihan di antara orang Amerika dan mencapai hasil politik yang dimau.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mencurigai data pengguna TikTok berisiko berakhir "di tangan Partai Komunis China".

TikTok berulang kali membantah bahwa data yang dikumpulkan dan disimpan di luar China.

Mendekati pemilu AS 3 November, berbagai platforms media sosial kemudian menerapkan tindakan pencegahan terhadap beredarnya informasi "nyinyir" saat pilpres.

Ulah nyinyir yang dimaksud adalah menyerang integritas pemilu AS 2020.

"Kami mengambil pembelajaran dari setiap pemilu baru-baru ini di seluruh dunia, dan menggunakannya untuk meningkatkan kerja integritas pemilu kami," kata Wakil Presiden Kebijakan Publik Twitter Jessica Herrera-Flanigan kepada AFP.

"Ini termasuk bermitra dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan perusahaan sejawat kami untuk mengidentifikasi, memahami, dan menekan ancaman dalam percakapan publik, baik sebelum atau setelah pemilu," terangnya.

Baca juga: Kawan Trump, Presiden Bolsonaro Yakini Ada Penipuan dalam Pemilu AS

5. Trump enggan akui kemenangan Biden

Pemilu AS 2020 yang digelar pada 3 November mengeluarkan hasil hitung cepat yang dikeluarkan oleh beberapa media internasional, bahwa Joe Biden dan Kamala Harris unggul dari Donald Trump dan Mike Pence.

Hasil itu dibantah telak oleh Trump dan aliansi partainya, dengan melayangkan serangkaian gugatan ke pengadilan kota, negara bagian, hingga Mahkamah Agung (MA).

Seluruh gugatan presiden berusia 74 tahun itu ditolak. Hakim-hakim menolak karena gugatan tim hukum Trump di pemilu AS 2020 penuh dengan teori konspirasi yang dibuat-buat.

Presiden ke-45 AS itu bahkan melobi pejabat Republikan di swing states, seperti ketua DPR negara bagian, untuk mengganti electors yang akan memilih presiden di Electoral College.

Sejauh ini tidak ada pejabat partainya yang menyetujui permintaan Trump.

Namun, Trump tetap bersikukuh tidak akui hasil pilpres AS 2020, sekalipun Dewan Elektoral (electoral college) telah mengumumkan pada Senin (14/12/2020) kemanangan Biden-Harris secara resmi dan pelantikan telah diagendakan 20 Januari mendatang. 

Biden kantongi 306 electoral vote alias suara elektoral, melampaui 207 suara elektoral minimal yang dibutuhkan untuk melangkah ke Gedung Putih.

Dalam konferensi pers Senin (28/12/2020) seperti dikutip The Guardian, presiden terpilih AS ke-46 mengecam pemerintahan Presiden Trump yang menghalang-halangi proses transisi kepresidenan.

Kecaman khususnya ditujukan kepada pejabat Kementerian Pertahanan AS, atau kerap disebut Pentagon.

“Sejumlah kementerian sejauh ini memfasilitasi proses transisi yang mulus. Namun ada juga kementerian lain, khususnya Pentagon, yang mempersulit transisi. Pentagon dan Kantor Anggaran Negara memberikan begitu banyak kesulitan kepada tim keamanan nasional saya.” tutur Biden.

Tim keamanan nasionalnya tidak kunjung menerima seluruh informasi yang penting. Misal sampai saat ini Biden tidak mengetahui bagaimanakah pengaturan anggaran di Pentagon.

Adapun Pentagon secara mendadak awal bulan ini menghentikan proses transisi yang telah dilakukan dengan tim keamanan nasional presiden terpilih tanpa alasan yang jelas.

Para pemimpin militer AS menyatakan, mereka sudah bersiap, jika Presiden Donald Trump menerapkan darurat militer sebagai usaha menjegal lawannya, Joe Biden.

Salah satu sumber militer menuturkan kepada Newsweek, sangat tipis kemungkinan para komandan AS sampai terlibat dalam usaha membalikkan pemilu AS.

Yang ditakutkan adalah jika pasukan terpaksa dilibatkan untuk memadamkan kekacauan yang bisa timbul karena masalah yang disulut presiden berusia 74 tahun itu.

Ia menyoroti bahwa ada kemungkinan Trump bisa mengerahkan milisi swasta dan paramiliter yang setia kepadanya untuk membuat kekacauan di Washington DC.

"Saya sudah mengabdi selama 40 tahun, dan saya tidak pernah melihat bagaimana diskusi membahas skenario itu bisa begitu intens," kata si sumber.

Baca juga: Pengacara Trump Sebut Mantan Kepala Keamanan Pemilu AS Harusnya Diseret dan Ditembak

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Pejabat UE dan Perancis Kecam Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi, Ini Alasannya

Pejabat UE dan Perancis Kecam Israel Perintahkan Warga Rafah Mengungsi, Ini Alasannya

Global
Rusia dan Ukraina Dilaporkan Pakai Senjata Terlarang, Apa Saja?

Rusia dan Ukraina Dilaporkan Pakai Senjata Terlarang, Apa Saja?

Internasional
Setelah Perintahkan Warga Mengungsi, Israel Serang Rafah, Hal yang Dikhawatirkan Mulai Terjadi

Setelah Perintahkan Warga Mengungsi, Israel Serang Rafah, Hal yang Dikhawatirkan Mulai Terjadi

Global
Jerman Tarik Duta Besarnya dari Rusia, Ini Alasannya

Jerman Tarik Duta Besarnya dari Rusia, Ini Alasannya

Global
Kebun Binatang di China Warnai 2 Anjing Jadi Mirip Panda, Tarik Banyak Pengunjung tapi Tuai Kritik

Kebun Binatang di China Warnai 2 Anjing Jadi Mirip Panda, Tarik Banyak Pengunjung tapi Tuai Kritik

Global
Meski Rafah Dievakuasi, Hamas Tetap Lanjutkan Perundingan Gencatan Senjata

Meski Rafah Dievakuasi, Hamas Tetap Lanjutkan Perundingan Gencatan Senjata

Global
Rusia Ungkap Tujuan Putin Perintahkan Latihan Senjata Nuklir dalam Waktu Dekat

Rusia Ungkap Tujuan Putin Perintahkan Latihan Senjata Nuklir dalam Waktu Dekat

Global
Pria Ini Menyamar Jadi Wanita agar Terhindar Penangkapan, tapi Gagal

Pria Ini Menyamar Jadi Wanita agar Terhindar Penangkapan, tapi Gagal

Global
Cerita Wartawan BBC Menumpang Kapal Filipina, Dikejar Kapal Patroli China

Cerita Wartawan BBC Menumpang Kapal Filipina, Dikejar Kapal Patroli China

Global
Putin Perintahkan Pasukan Rusia Latihan Senjata Nuklir di Dekat Ukraina

Putin Perintahkan Pasukan Rusia Latihan Senjata Nuklir di Dekat Ukraina

Global
Israel Dorong 100.000 Warga Sipil Palestina Tinggalkan Rafah Timur, Apa Tujuannya?

Israel Dorong 100.000 Warga Sipil Palestina Tinggalkan Rafah Timur, Apa Tujuannya?

Global
Fakta-fakta di Balik Demo Mahasiswa AS Tolak Perang di Gaza

Fakta-fakta di Balik Demo Mahasiswa AS Tolak Perang di Gaza

Global
Hezbollah Tembakkan Puluhan Roket Katyusha ke Pangkalan Israel

Hezbollah Tembakkan Puluhan Roket Katyusha ke Pangkalan Israel

Global
Diduga Coba Tembak Pendeta Saat Khotbah, Seorang Pria Ditangkap

Diduga Coba Tembak Pendeta Saat Khotbah, Seorang Pria Ditangkap

Global
Israel Perintahkan Evakuasi Warga dari Rafah Gaza Sebelum Serangan Terjadi

Israel Perintahkan Evakuasi Warga dari Rafah Gaza Sebelum Serangan Terjadi

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com