Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Tempe Lebih Banyak Dibuat dari Kedelai Impor daripada Lokal?

Kompas.com - 01/03/2023, 18:12 WIB
Krisda Tiofani,
Silvita Agmasari

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Meski dikenal sebagai negeri tempe, kedelai yang dipakai oleh produsen tempe kebanyakan bukan berasal dari Indonesia.

Menurut Pengajar ilmu teknologi pangan IPB sekaligus ahli tempe, Suliantri, saat ini, rata-rata produsen tempe menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku

Dikutip dari berita Kompas.com yang tayang pada Rabu (19/1/2022), Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin, menyampaikan bahwa kedelai impor sudah memiliki standar pasti mengenai warna, ukuran, bentuk, hingga kandungan proteinnya.

Kedelai impor asal Amerika Serikat, Argentina, Brasil, hingga Kanada dibuat menggunakan teknologi dan sistem yang tepat sehingga produknya pun seragam.

"Tapi kalau kedelai lokal itu pada umumnya tidak ada standarisasi. Namun karena dia alamiah, ini proteinnya, gizinya lebih tinggi, lebih bagus daripada kedelai impor," kata Aip.

Suliantari pun mengakui hal ini. Menurutnya, kandungan protein dalam kedelai dalam negeri lebih tinggi.

"Sekilas, tidak ada bedanya kedelai impor dan lokal, hanya kandungan gizinya lebih tinggi kedelai lokal," kata Suliantari dalam acara perilisan Taro Tempe, Senin (27/2/2023).

Sayangnya, menurut Suliantari, jumlah kedelai lokal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi tempe.

Itu sebabnya, koperasi tempe di banyak daerah Indonesia lebih banyak menyetok kedelai impor dibandingkan dengan kedelai lokal.

Baca juga:

Ilustrasi kedelai.PIXABAY/pnmralex Ilustrasi kedelai.

Jika dilihat dari harganya, kedelai impor menyetuh harga Rp 11.000 per kilogram, seperti dikutip berita Kompas.com yang tayang pada Sabtu (14/1/2023).

Harganya tidak berbeda jauh dengan tahun lalu yang berkisar Rp 10.000-an per kilogram, sementara kedelai lokal yang dijual Rp 6.000 hingga Rp 6.500 per kilogram dalam kondisi masih ada batang dan daun pohonnya.

Rendahnya produksi kedelai lokal yang disampaikan oleh Suliantari, sebenarnya disebabkan oleh harga jual kedelai yang tidak menentu.

Menurut Munif Ghulamahdi, Kepala Divisi Ekofisiologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Holtikultura, Intitut Pertanian Bogor, pemerintah perlu mengontrol harga kedelai lokal agar petani mau menanamnya.

"Kalau ketersediaan kedelai meningkat, harganya cenderung turun, ini yang membuat para petani akhirnya tidak ingin menanam kedelai," kata Munif, dikutip dari berita Kompas.com yang tayang pada Senin (21/2/2022). 

Dikutip dari berita Kompas.com lainnya, Munif menyampaikan bahwa dirinya optimis Indoneia mampu berswasembada kedelai, meski saat ini masih banyak menggunakan kedelai impor.

"Mestinya bisa, karena sebetulnya kedelai ini sudah lama di Indonesia dan sudah mengalami adaptasi yang cukup lama dengan berbagai persilangan-persilangan," ujar Munif.

Baca juga:

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com