Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masa Depan Petani Muda Indonesia dan Regenerasi Petani

Kompas.com - 24/09/2021, 09:17 WIB
Krisda Tiofani,
Silvita Agmasari

Tim Redaksi

Sebagai petani muda, Danu turut membenarkan risiko menjadi petani muda tersebut.

"Saya sendiri yang harus mengolah semuanya dari awal hingga panen. Selain itu, saya juga cukup kesulitan jika menghadapi gagal panen, tanaman terserang hama dan penyakit," 

Danu kerap menanam beberapa komoditas hortikultura, seperti semangka, melon, dan timun untuk menyiasati gagal panen.

Meski daya serap di bidang pertani masih minim, serta terdapat risiko saat bercocok tanam, Firdaus optimis bahwa masa depan petani muda Indonesia bisa jauh lebih baik jika diperbaiki.

Salah satu cara meningkatkan kuantitas dan kualitas petani muda adalah dengan menjalankan proyek internasional yang diberikan kepada Indonseia.

Firdaus menyempaikan bahwa Indonesia terpilih menjadi satu-satunya negara yang mendapatkan pilot project dari International Food Agriculture Development (IFAD) untuk menciptakan petani muda.

Jumlah petani ideal di Indonesia adalah 20 juta. Ia mengharapkan, 10 juta di antaranya bisa terdiri atas petani muda.

"Nah, kalau misalnya 20 juta itu kemudian yang mudanya ada 10 juta, berarti harus naik empat kali dari sekarang, sekitar delapan persen menjadi 30 persen," jelasnya. 

Dalam artian, jumlah ideal petani muda Indonesia sekitar 7,5 juta.

Firdaus mengatakan, produksi pertanian Indonesia akan terganggu, apabila tidak berhasil menciptakan 7,5 juta petani muda selama 10-15 tahun ke depan. 

Baca juga:

Ilustrasi ekstrasi beras menjadi minyak beras. Dok. Shutterstock/Tonhom1009 Ilustrasi ekstrasi beras menjadi minyak beras.

Selain program tersebut, ada juga cara yang bisa dilakukan untuk membuat pertanian Indonesia menjadi lebih baik.

"Hal yang harus dikembangkan dari dahulu dan mungkin termasuk salah satu kekurangan kita adalah nilai tambah," kata Firdaus.

Nilai tambah di sektor pertanian bisa dikembangkan dengan cara memperbaiki penghitungan produktivitas kesejahteraan petani dan mengolah hasil tani itu sendiri.

Selama ini produktivitas kesejahteraan petani diukur dengan menghitung satuan hasil per lahan.

Metode tersebut harus diubah menjadi mengukur produktivitas dari nilai tambah per luas lahan.

"Apa bedanya? Bisa jadi misalnya begini, kalau dia pertanianya efisien, pakai organik, bisa jadi dia cuma pakai input Rp 100 juta tetapi dia jual produknya Rp 200 juta, dia dapat nilai tambah 100 juta kan," jelas Firdaus.

Kedua, masa depan petani muda bisa menjadi lebih baik dan menjanjikan jika hasil tani bisa diolah terlebih dahulu sebelum dijual.

"Ada namanya rice oil. Rice oil itu ada dan dijual. Di supermarket itu satu liter di atas Rp 70.000. Namun, kita tidak sampai di situ," tutur Firdaus.

Jika hasil tani dapat diolah dengan baik, nantinya daya serap bidang pertanian juga akan meningkat.

Firdaus juga menyebutkan stigma akan profesi petani tidak sejahtera adalah salah. Sebab menurutnya, ada banyak petani yang hidupnya sukses dengan penghasilan tinggi.

"Penghasilan di atas Rp 10 juta per bulan itu banyak, di hortikultura terutama ya," ujar Firdaus.

Baca juga:

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com