Oleh: Kevindra Soemantri
Ada sensasi tersendiri yang muncul saat bibir kita menyeruput helaian bakmi yang berminyak. Rasanya tak ingin berhenti.
Seruput demi seruput, sesekali bongkahan daging gurih dan kenyal mengikuti. Sesekali irisan dauh bawang yang kecut ada di belakangnya.
Tiap gigitan, tiap kunyahan, bagai rekreasi di tengah kesibukan riuh ibu Kota.
Bakmi adalah obat yang lezat, yang menjadi bandul kewarasan masyarakat urban.
Apalagi kalau bakmi itu tersembunyi, perjalanan mengunjunginya bagaikan berziarah ke tempat suci. Seperti saat menuju Bakmi Asui, kuil bagi pencinta bakmi ayam.
Bakmi Asui tidak berlokasi di pinggir jalan raya yang mudah ditemukan banyak orang.
Ia berada di tengah-tengah kompleks perumahan yang hening dan sederhana.
Namun jangan terkecoh, saat sampai, keheningan sirna digantikan gegap gempita manusia-manusia lapar yang menikmati dengan penuh hasrat kreasi bakmi ayam di sini.
Bakmi Asui bukanlah bakmi ayam seperti yang banyak orang Indonesia kenal yakni dibuat menjadi semur. Tidak. Bakmi ayam versi Asui ini berlatar mie Tionghoa.
Ayam dimasak sederhana di dalam kuali berbumbu. Mereka mengolahnya dengan tangan cekatan, sehingga ayam datang ke meja dalam bentuk irisan besar dengan penuh pesona.
Bakmi Asui sendiri lebih kepada jenis mie karet yang membal dan gurih.
Di atasnya, mahkota irisan ayam berbaris. Kulit ayam masih menempel, berkilauan, kenyal.
Sementara daging di bawahnya sangat empuk, gempal dan penuh sari.
Dengan irisan daun bawang serta sobekan daun selada yang renyah, tiap gigitan penuh dengan sensasi.