Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
dr. Ignatia Karina Hartanto

PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM

Menuju Mimpi dan Gol Thalassemia Movement, Screening Thalassemia Nasional

Kompas.com - 25/11/2022, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MANUSIA menorehkan prestasi baru dengan genap mencapai 8 miliar jiwa pada tanggal 15 November 2022. Banyak yang menganggap pencapaian ini sebagai sebuah prestasi, yaitu penambahan sejumlah 1 miliar penduduk dalam 11 tahun terakhir. Bagaimanapun juga, pertumbuhan populasi bumi ini menandakan perbaikan sana-sini, terutama dari sisi kesehatan dan pangan.

Namun, dengan pertumbuhan populasi yang semakin pesat ini, segelintir tentu jadi khawatir. Salah satunya, Thalassemia Movement.

Komunitas ini resmi diperkenalkan ke publik pada hari thalassemia sedunia tanggal 8 Mei 2016 di Car Free Day Jakarta untuk meningkatkan awareness (kesadaran) tentang thalassemia, sebuah kelainan darah yang sekarang sudah meluas ke seluruh dunia. Padahal, hampir seabad lalu, penyakit ini baru dikenali dan hanya ditemukan di daerah sekitar Eropa dan Asia.

Thalassemia adalah kelainan darah yang mengharuskan penyintasnya rutin transfusi darah seumur hidup. Kondisi ini hanya menular melalui pernikahan, yang berarti diturunkan dari orangtua ke anaknya.

Baca juga: Tantangan Thalassemia di Indonesia, Penyakit Keturunan yang Mengancam Tumbuh Kembang Anak

Kedua orangtua yang normal pun bisa memiliki anak dengan thalassemia apabila sama-sama memiliki gen pembawa sifat thalassemia atau disebut sebagai carrier. Tahun 2019, data menyatakan ada 3,8% penduduk Indonesia dengan gen pembawa tersebut, yang berarti ada lebih dari 10.000.000 penduduk.

Dari tahun ke tahun, jumlah penyintas thalassemia di Indonesia semakin banyak. Tahun 2018, sudah hampir mencapai 9.000 orang. Update-nya, saat ini ada sekitar 14.000 orang dengan thalassemia, itupun yang terdaftar.

Dengan deteksi yang masih minim di daerah terpencil dan banyak kasus yang tidak terdiagnosis, diperkirakan jumlah penyintas yang sebenarnya bisa mencapai dua kali lipat dari yang terdaftar.

Berdasarkan perhitungan kasar dari data tersebut, terdapat peningkatan sekitar 5.000 orang dalam 4 tahun terakhir. Artinya, setiap hari ada sekitar 3 bayi lahir dengan thalassemia. Kenyataan inilah yang membuat aspek promotif dan preventif menjadi sebuah kedaruratan dalam penanganan thalassemia. Bila negara hanya berfokus pada pengobatan, beban yang ada akan semakin besar.

Sampai sekarang, biaya pengobatan thalassemia menduduki posisi ke-5 terbesar yang menghabiskan biaya BPJS dan APBN, setelah penyakit jantung, kanker, ginjal, dan stroke. Selain itu, keluarga harus menyiapkan mental dan pengeluaran lebih untuk transportasi berobat, dan penyintas sendiri harus berhadapan dengan hidup yang berat.

Thalassemia bisa terjadi pada siapa saja, tidak memandang latar belakang, status ekonomi, maupun status sosial. Thalassemia sendiri adalah sebuah kondisi kompleks. Walaupun sering dipermudah dengan analogi sebagai sebuah handphone yang butuh mendapat charge dengan transfusi darah, kenyataannya aspek perawatan untuk penyintas lebih dari sekedar rutin transfusi.

Namun sayangnya, masih ada orangtua dan penyintas itu sendiri yang bahkan tidak mengetahui apa itu thalassemia, hanya tahu butuh darah saja. Oleh karena itulah, edukasi terkait thalassemia paling awal harus didapatkan oleh para penyintas dan keluarganya terlebih dulu, agar mereka bisa mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

Baca juga: Cegah Thalassemia, Mari Periksa Darah Sebelum Menikah

Menjadi penyintas yang mendapat akses terhadap pendidikan yang lebih tinggi adalah sebuah keistimewaan yang dimiliki oleh sebagian besar aktivis di Thalassemia Movement. Untuk itulah mereka gencar mengadakan acara dan aktif di media sosial untuk terus mengedukasi thalassemia. Tidak jarang kegiatan mereka mendapat perhatian dari Thalassemia International Foundation.

Semakin hari, komunitas ini menjadi semakin besar. Sedari awal, anggotanya tidak hanya dari kalangan penyintas, tapi juga para dokter dan non-penyintas yang memiliki perhatian khusus terkait thalassemia. Bahkan, ide membentuk komunitas ini justru datang dari seorang non-penyintas.

Kehilangan

Seminggu sebelum mencapai 8 miliar penduduk bumi, tanggal 8 November 2022, perkumpulan Gerakan Peduli Thalassemia Indonesia ini berduka karena kehilangan seorang aktivisnya yang menjadi ketua sejak tahun 2018 saat organisasi ini resmi memiliki badan hukum.

Namanya Adhitya Putra Nasir atau biasa dipanggil Adhit. Umurnya baru 31 tahun saat berpulang, bahkan kurang dari separuh angka harapan hidup di Indonesia yang saat ini mencapai 75 tahun.

Sebelumnya Adhit tampak biasa saja. Hanya beberapa hari saja napasnya tampak tersengal dan sempat tidak dihiraukannya. Namun, dengan dorongan dari sahabatnya, ia pergi ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk dirawat.

Setelah pemeriksaan lebih lanjut, ternyata ada sumbatan di jantung dan paru. Tiga hari berselang, detak jantungnya mendadak berhenti dan tidak kembali walaupun sudah dilakukan pijat jantung.

Tidak ada yang pernah tahu pasti misteri umur manusia, termasuk kepergian Adhit, semua terkejut saat mendengarnya. Para dokter yang intensif merawatnya bertanya-tanya, apa yang menyebabkan Adhit tiba-tiba nge-drop dan akhirnya meninggal.

Sosok Adhit dikenal sebagai seseorang yang ramah, supel, caring, dan tidak pernah mengeluh. Ia sangat akrab dengan banyak orang, termasuk para dokter dan sesama penyintas. Dan semua yang mengenal Adhit, pasti mengenal Fadel, sahabat karibnya, yang memaksa Adhit ke IGD.

Nama lengkapnya Fadel Nooriandi. Sebagai sesama penyintas thalassemia, keduanya dapat menyamai pepatah ibarat pinang dibelah dua. Banyak yang menganggap keduanya saudara kembar walaupun tidak sedarah dan terpaut usia 2 tahun.

Mengenang ke belakang, Adhit berusia 3 tahun saat terdiagnosis thalassemia, sementara Fadel berusia 8 bulan. Sebenarnya sejak kecil keduanya sudah sering bertemu bila mengamar di rumah sakit untuk transfusi darah. Namun, mereka justru baru mulai dekat sejak Fadel sering menghabiskan waktu di coffee shop milik Adhit sehabis jam kerja demi menunggu macet lalu lintas terurai, kurang lebih dalam 7 tahun terakhir.

Sejak sama-sama aktif dalam Thalassemia Movement, duo ini menjadi tidak terpisahkan. Keduanya berbagi mimpi untuk mengegolkan kebijakan atau policy mengenai screening thalassemia di Indonesia, karena masalah penyintas thalassemia akan terus menggunung bila hanya mengandalkan pengobatan. Kuncinya jelas: pencegahan.

Baca juga: Tak Bisa Disembuhkan, Ini Gejala dan Komplikasi Penyakit Thalassemia

Selain mimpi, mereka juga berbagi hobi. Mulai dari ngopi, olahraga, "me time" dengan berkuliner ria sebagai self-reward setelah jenuh menghabiskan waktu seharian di rumah sakit untuk transfusi darah, hingga menonton konser. Mereka tidak ragu untuk berjubel dengan penonton lainnya, dan tetap asyik menikmati walau tidak menembus ke deretan depan karena sadar dengan kapasitas fisik mereka.

Dalam situasi tertentu, kadang mereka mengumbar angan. Seperti saat mengikuti konser yang sangat padat penontonnya, mereka berandai-andai suatu saat nanti ada gate khusus untuk penikmat musik live dengan kondisi kronik dan penyandang disabilitas yang membuat kemampuan fisiknya tidak sama dengan yang lain.

Adhit dan Fadel di coffee shop milik Adhitdokumen pribadi penulis Adhit dan Fadel di coffee shop milik Adhit

Dengan kesamaan visi, misi dan hobi; sahabat satu frekuensi ini selalu intens bertukar kabar dan pikiran; baik bertemu langsung untuk sekedar ngopi dan nongkrong, atau melalui panggilan telepon dan chat. Fadel peka untuk menyadari bahwa dalam 4 bulan terakhir, Adhit terus memotivasinya untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi.

Memang dalam urusan public speaking, Adhit tampak lebih nyaman cas-cis-cus depan umum. Setiap kali Thalassemia Movement memiliki acara, salah satu pembicara andalannya adalah Adhit. Sedangkan Fadel awalnya lebih suka diam karena merasa sulit untuk berkomunikasi. Ia sering terbata-bata dan tidak percaya diri bahwa dirinya mampu untuk bicara depan umum.

Tapi karena sahabatnya terus menyakinkan dan memotivasi, makin lama Fadel makin berani keluar dari zona nyaman dan tampak mulai menguasai bagaimana cara berkomunikasi yang baik untuk menyampaikan pesan.

Ia sadar bahwa dibutuhkan pendekatan yang berbeda untuk masing-masing pihak supaya pesan tersampaikan. Makin hari Fadel justru berusaha mencari kesempatan untuk mengobrol dengan siapa pun, untuk belajar menguasai cara pendekatan yang personal.

Selain mendorong Fadel berlatih komunikasi, Adhit juga terus-menerus cerewet mengenai cara melakukan gebrakan untuk mewujudkan policy screening Thalassemia. Lama-lama, Fadel merasakan feeling yang tidak enak; Adhit pun seakan memiliki firasat akan waktunya yang hampir habis. Sesekali ia menyeletuk, “Kalau gua ngga ada gimana ya…

Lalu pada suatu kesempatan, saat keduanya bertukar pikiran untuk meningkatkan awareness mengenai thalassemia yang tidak melulu di fasilitas kesehatan atau tempat yang itu-itu lagi, tiba-tiba saja tercetus ide untuk mengadakan acara di sebuah tempat yang viral.

Lalu entah bagaimana ide yang belum matang itu secara alami terus bergulir menemukan seseorang yang kenal dengan seseorang yang kenal dengan seseorang, hingga akhirnya dalam sekejap deal untuk diadakan acara bertemu dengan para penyintas dan edukasi terkait pencegahan thalassemia.

Acara tersebut diberi judul yang tidak biasa dan dilakukan di tempat yang tidak biasa: The Vampire Weekend, sebuah acara oleh Thalassemia Movement yang berkolaborasi dengan Tanare di Lounge in the Sky.

The Vampire Weekend, sebuah acara oleh Thalassemia Movement yang berkolaborasi dengan Tanare di Lounge in the Sky.dokumen pribadi penulis The Vampire Weekend, sebuah acara oleh Thalassemia Movement yang berkolaborasi dengan Tanare di Lounge in the Sky.

Dari sejak ide tercetus hingga akhirnya acara berlangsung, semua hanya membutuhkan waktu sekitar 2 minggu. Siapa sangka, 2 hari menjelang acara, Adhit mendadak sesak dan masuk rumah sakit. Malam itu di IGD, saat semua yang menjenguk menuju keluar, Fadel yang terakhir keluar sempat berbicara dengan Adhit sebentar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com