Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
dr. Ignatia Karina Hartanto

PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM

Menuju Mimpi dan Gol Thalassemia Movement, Screening Thalassemia Nasional

Kompas.com - 25/11/2022, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MANUSIA menorehkan prestasi baru dengan genap mencapai 8 miliar jiwa pada tanggal 15 November 2022. Banyak yang menganggap pencapaian ini sebagai sebuah prestasi, yaitu penambahan sejumlah 1 miliar penduduk dalam 11 tahun terakhir. Bagaimanapun juga, pertumbuhan populasi bumi ini menandakan perbaikan sana-sini, terutama dari sisi kesehatan dan pangan.

Namun, dengan pertumbuhan populasi yang semakin pesat ini, segelintir tentu jadi khawatir. Salah satunya, Thalassemia Movement.

Komunitas ini resmi diperkenalkan ke publik pada hari thalassemia sedunia tanggal 8 Mei 2016 di Car Free Day Jakarta untuk meningkatkan awareness (kesadaran) tentang thalassemia, sebuah kelainan darah yang sekarang sudah meluas ke seluruh dunia. Padahal, hampir seabad lalu, penyakit ini baru dikenali dan hanya ditemukan di daerah sekitar Eropa dan Asia.

Thalassemia adalah kelainan darah yang mengharuskan penyintasnya rutin transfusi darah seumur hidup. Kondisi ini hanya menular melalui pernikahan, yang berarti diturunkan dari orangtua ke anaknya.

Baca juga: Tantangan Thalassemia di Indonesia, Penyakit Keturunan yang Mengancam Tumbuh Kembang Anak

Kedua orangtua yang normal pun bisa memiliki anak dengan thalassemia apabila sama-sama memiliki gen pembawa sifat thalassemia atau disebut sebagai carrier. Tahun 2019, data menyatakan ada 3,8% penduduk Indonesia dengan gen pembawa tersebut, yang berarti ada lebih dari 10.000.000 penduduk.

Dari tahun ke tahun, jumlah penyintas thalassemia di Indonesia semakin banyak. Tahun 2018, sudah hampir mencapai 9.000 orang. Update-nya, saat ini ada sekitar 14.000 orang dengan thalassemia, itupun yang terdaftar.

Dengan deteksi yang masih minim di daerah terpencil dan banyak kasus yang tidak terdiagnosis, diperkirakan jumlah penyintas yang sebenarnya bisa mencapai dua kali lipat dari yang terdaftar.

Berdasarkan perhitungan kasar dari data tersebut, terdapat peningkatan sekitar 5.000 orang dalam 4 tahun terakhir. Artinya, setiap hari ada sekitar 3 bayi lahir dengan thalassemia. Kenyataan inilah yang membuat aspek promotif dan preventif menjadi sebuah kedaruratan dalam penanganan thalassemia. Bila negara hanya berfokus pada pengobatan, beban yang ada akan semakin besar.

Sampai sekarang, biaya pengobatan thalassemia menduduki posisi ke-5 terbesar yang menghabiskan biaya BPJS dan APBN, setelah penyakit jantung, kanker, ginjal, dan stroke. Selain itu, keluarga harus menyiapkan mental dan pengeluaran lebih untuk transportasi berobat, dan penyintas sendiri harus berhadapan dengan hidup yang berat.

Thalassemia bisa terjadi pada siapa saja, tidak memandang latar belakang, status ekonomi, maupun status sosial. Thalassemia sendiri adalah sebuah kondisi kompleks. Walaupun sering dipermudah dengan analogi sebagai sebuah handphone yang butuh mendapat charge dengan transfusi darah, kenyataannya aspek perawatan untuk penyintas lebih dari sekedar rutin transfusi.

Namun sayangnya, masih ada orangtua dan penyintas itu sendiri yang bahkan tidak mengetahui apa itu thalassemia, hanya tahu butuh darah saja. Oleh karena itulah, edukasi terkait thalassemia paling awal harus didapatkan oleh para penyintas dan keluarganya terlebih dulu, agar mereka bisa mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

Baca juga: Cegah Thalassemia, Mari Periksa Darah Sebelum Menikah

Menjadi penyintas yang mendapat akses terhadap pendidikan yang lebih tinggi adalah sebuah keistimewaan yang dimiliki oleh sebagian besar aktivis di Thalassemia Movement. Untuk itulah mereka gencar mengadakan acara dan aktif di media sosial untuk terus mengedukasi thalassemia. Tidak jarang kegiatan mereka mendapat perhatian dari Thalassemia International Foundation.

Semakin hari, komunitas ini menjadi semakin besar. Sedari awal, anggotanya tidak hanya dari kalangan penyintas, tapi juga para dokter dan non-penyintas yang memiliki perhatian khusus terkait thalassemia. Bahkan, ide membentuk komunitas ini justru datang dari seorang non-penyintas.

Kehilangan

Seminggu sebelum mencapai 8 miliar penduduk bumi, tanggal 8 November 2022, perkumpulan Gerakan Peduli Thalassemia Indonesia ini berduka karena kehilangan seorang aktivisnya yang menjadi ketua sejak tahun 2018 saat organisasi ini resmi memiliki badan hukum.

Namanya Adhitya Putra Nasir atau biasa dipanggil Adhit. Umurnya baru 31 tahun saat berpulang, bahkan kurang dari separuh angka harapan hidup di Indonesia yang saat ini mencapai 75 tahun.

Sebelumnya Adhit tampak biasa saja. Hanya beberapa hari saja napasnya tampak tersengal dan sempat tidak dihiraukannya. Namun, dengan dorongan dari sahabatnya, ia pergi ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk dirawat.

Setelah pemeriksaan lebih lanjut, ternyata ada sumbatan di jantung dan paru. Tiga hari berselang, detak jantungnya mendadak berhenti dan tidak kembali walaupun sudah dilakukan pijat jantung.

Tidak ada yang pernah tahu pasti misteri umur manusia, termasuk kepergian Adhit, semua terkejut saat mendengarnya. Para dokter yang intensif merawatnya bertanya-tanya, apa yang menyebabkan Adhit tiba-tiba nge-drop dan akhirnya meninggal.

Sosok Adhit dikenal sebagai seseorang yang ramah, supel, caring, dan tidak pernah mengeluh. Ia sangat akrab dengan banyak orang, termasuk para dokter dan sesama penyintas. Dan semua yang mengenal Adhit, pasti mengenal Fadel, sahabat karibnya, yang memaksa Adhit ke IGD.

Nama lengkapnya Fadel Nooriandi. Sebagai sesama penyintas thalassemia, keduanya dapat menyamai pepatah ibarat pinang dibelah dua. Banyak yang menganggap keduanya saudara kembar walaupun tidak sedarah dan terpaut usia 2 tahun.

Mengenang ke belakang, Adhit berusia 3 tahun saat terdiagnosis thalassemia, sementara Fadel berusia 8 bulan. Sebenarnya sejak kecil keduanya sudah sering bertemu bila mengamar di rumah sakit untuk transfusi darah. Namun, mereka justru baru mulai dekat sejak Fadel sering menghabiskan waktu di coffee shop milik Adhit sehabis jam kerja demi menunggu macet lalu lintas terurai, kurang lebih dalam 7 tahun terakhir.

Sejak sama-sama aktif dalam Thalassemia Movement, duo ini menjadi tidak terpisahkan. Keduanya berbagi mimpi untuk mengegolkan kebijakan atau policy mengenai screening thalassemia di Indonesia, karena masalah penyintas thalassemia akan terus menggunung bila hanya mengandalkan pengobatan. Kuncinya jelas: pencegahan.

Baca juga: Tak Bisa Disembuhkan, Ini Gejala dan Komplikasi Penyakit Thalassemia

Selain mimpi, mereka juga berbagi hobi. Mulai dari ngopi, olahraga, "me time" dengan berkuliner ria sebagai self-reward setelah jenuh menghabiskan waktu seharian di rumah sakit untuk transfusi darah, hingga menonton konser. Mereka tidak ragu untuk berjubel dengan penonton lainnya, dan tetap asyik menikmati walau tidak menembus ke deretan depan karena sadar dengan kapasitas fisik mereka.

Dalam situasi tertentu, kadang mereka mengumbar angan. Seperti saat mengikuti konser yang sangat padat penontonnya, mereka berandai-andai suatu saat nanti ada gate khusus untuk penikmat musik live dengan kondisi kronik dan penyandang disabilitas yang membuat kemampuan fisiknya tidak sama dengan yang lain.

Adhit dan Fadel di coffee shop milik Adhitdokumen pribadi penulis Adhit dan Fadel di coffee shop milik Adhit

Dengan kesamaan visi, misi dan hobi; sahabat satu frekuensi ini selalu intens bertukar kabar dan pikiran; baik bertemu langsung untuk sekedar ngopi dan nongkrong, atau melalui panggilan telepon dan chat. Fadel peka untuk menyadari bahwa dalam 4 bulan terakhir, Adhit terus memotivasinya untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi.

Memang dalam urusan public speaking, Adhit tampak lebih nyaman cas-cis-cus depan umum. Setiap kali Thalassemia Movement memiliki acara, salah satu pembicara andalannya adalah Adhit. Sedangkan Fadel awalnya lebih suka diam karena merasa sulit untuk berkomunikasi. Ia sering terbata-bata dan tidak percaya diri bahwa dirinya mampu untuk bicara depan umum.

Tapi karena sahabatnya terus menyakinkan dan memotivasi, makin lama Fadel makin berani keluar dari zona nyaman dan tampak mulai menguasai bagaimana cara berkomunikasi yang baik untuk menyampaikan pesan.

Ia sadar bahwa dibutuhkan pendekatan yang berbeda untuk masing-masing pihak supaya pesan tersampaikan. Makin hari Fadel justru berusaha mencari kesempatan untuk mengobrol dengan siapa pun, untuk belajar menguasai cara pendekatan yang personal.

Selain mendorong Fadel berlatih komunikasi, Adhit juga terus-menerus cerewet mengenai cara melakukan gebrakan untuk mewujudkan policy screening Thalassemia. Lama-lama, Fadel merasakan feeling yang tidak enak; Adhit pun seakan memiliki firasat akan waktunya yang hampir habis. Sesekali ia menyeletuk, “Kalau gua ngga ada gimana ya…

Lalu pada suatu kesempatan, saat keduanya bertukar pikiran untuk meningkatkan awareness mengenai thalassemia yang tidak melulu di fasilitas kesehatan atau tempat yang itu-itu lagi, tiba-tiba saja tercetus ide untuk mengadakan acara di sebuah tempat yang viral.

Lalu entah bagaimana ide yang belum matang itu secara alami terus bergulir menemukan seseorang yang kenal dengan seseorang yang kenal dengan seseorang, hingga akhirnya dalam sekejap deal untuk diadakan acara bertemu dengan para penyintas dan edukasi terkait pencegahan thalassemia.

Acara tersebut diberi judul yang tidak biasa dan dilakukan di tempat yang tidak biasa: The Vampire Weekend, sebuah acara oleh Thalassemia Movement yang berkolaborasi dengan Tanare di Lounge in the Sky.

The Vampire Weekend, sebuah acara oleh Thalassemia Movement yang berkolaborasi dengan Tanare di Lounge in the Sky.dokumen pribadi penulis The Vampire Weekend, sebuah acara oleh Thalassemia Movement yang berkolaborasi dengan Tanare di Lounge in the Sky.

Dari sejak ide tercetus hingga akhirnya acara berlangsung, semua hanya membutuhkan waktu sekitar 2 minggu. Siapa sangka, 2 hari menjelang acara, Adhit mendadak sesak dan masuk rumah sakit. Malam itu di IGD, saat semua yang menjenguk menuju keluar, Fadel yang terakhir keluar sempat berbicara dengan Adhit sebentar.

“Titip acara sama Thalassemia movement ya,” pesan Adhit. Fadel berjanji dan menyakinkan sahabatnya untuk tidak mencemaskan acara, tanpa menyangka bahwa Adhit bermaksud menitipkan selamanya.

The Vampire Weekend yang diadakan tanggal 6 November 2022 lalu berlangsung sangat lancar dan sukses. Fadel bangga karena berhasil menunaikan janji pada sahabatnya.

Meskipun tidak bertemu langsung, ia tahu bahwa Adhit tersenyum saat mendengar bahwa acara dengan persiapan express ini berjalan baik. Fadel juga dapat merasakan bagaimana Adhit lega bahwa Thalassemia Movement bisa terus berjalan walau dia tinggalkan.

Dua hari kemudian, Adhit pamit untuk selamanya.

Tuhan seakan sudah menyiapkan jalan-Nya yang terbaik untuk menjemput Adhit. Hal ini disadari Fadel dari acara terakhir yang seakan tercetus berawal candaan tiba-tiba dapat terwujud serius, dan sebuah janji yang kemudian menjadi bukti supaya Adhit dapat tenang meninggalkan semuanya.

Saat teman lain ada yang bertanya-tanya bagaimana caranya bisa bikin acara di tempat sekelas Lounge in the Sky, Fadel hanya bisa menjawab, “Enggak tau, itu semua kerjanya Tuhan.”

Walau senang bahwa Adhit meninggal dengan tenang, Fadel merasakan kehilangan yang paling berat. “Kehilangan half soul, separoh aku ini udah Adhit banget.”

Lalu Fadel teringat kembali bagaimana dalam 4 bulan terakhir Adhit intens mendorongnya meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan terus berkeras bahwa tujuan dari Thalassemia Movement adalah menghasilkan policy screening thalassemia nasional.

Mungkin memang Adhit sudah memiliki firasat dan terus mengingatkan sahabatnya tentang apa yang masih diperjuangkan. Memori pertemuan terakhirnya di IGD malam itu dengan Adhit membuat Fadel akhirnya sadar bahwa makna kehilangan ini adalah meneruskan perjuangan Adhit, supaya jangan sampai berhenti setelah dia meninggal.

Thalassemia Movement kemudian hadir memenuhi ruang kosong dalam hati Fadel dan semua yang berduka dengan kepergian Adhit. Karya dan kenangan akan Adhit justru membawa semua aktivisnya menyatukan hati, tetap dekat walau sang ketua telah mangkat.

Sebuah kehilangan yang justru mengikat kebersamaan untuk melanjutkan perjuangan thalassemia, seperti slogan dari klub bola Liverpool yang merupakan favorit Adhit: “You will never walk alone.”

dokumen pribadi penulis You will never walk alone

Penyintas, bukan penderita

Yang sudah familier dengan fitur fisik khas thalassemia mungkin bisa langsung menebak kalau Fadel adalah seorang penyintas bila bertemu. Walaupun ada sederet perbedaan fitur fisik, kata penyintas lebih disukai daripada pasien atau penderita untuk menunjuk tanpa terkesan membedakan.

Mungkin kebutuhan akan istilah yang tidak membedakan muncul karena seorang penyintas memang sering dibedakan oleh masyarakat. Bahkan mereka dan keluarganya juga sering membedakan diri sendiri dengan membatasi masuk sekolah, dan tidak sedikit yang berujung putus sekolah. Akibatnya, para penyintas sering memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

Dalam pengamatan pada para penyintas thalassemia yang kontrol di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM), Fadel memperkirakan sekitar 70 persen tidak melanjutkan pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan. Sering Fadel mendapati para orangtua memutus sekolah anaknya yang penyintas dengan alasan kasihan dengan anaknya yang dianggap memiliki keterbatasan fisik.

Tiap mendapat kesempatan mengobrol, Fadel selalu memotivasi orangtua agar anaknya kembali ke bangku sekolah supaya kelak tetap memiliki kesempatan bekerja. Walaupun nanti ternyata memang tidak bekerja, yang penting para penyintas tetap mendapatkan pendidikan. Karena menurutnya, yang paling penting dari lanjut sekolah adalah mendapat variasi kehidupan sosial, agar tidak di rumah sakit melulu.

Sayangnya, dengan tingkat pendidikan setinggi langit pun, tidak banyak yang bisa mendapatkan pekerjaan bila rekam medisnya tertulis thalassemia. Para penyintas yang memiliki pekerjaan pun kebanyakan merupakan usaha sendiri, termasuk Adhit yang memiliki usaha coffee shop.

Lain lagi dengan Fadel, ia merasa sangat bersyukur dan beruntung dengan pekerjaannya sebagai content creator dari Sandiaga Uno. Walaupun dirinya seorang penyintas, lingkungan kerjanya sangat suportif dan tidak membedakan. Tidak ada yang keberatan saat ia harus izin untuk transfusi darah.

Sebelumnya, Fadel terus mengalami kesulitan untuk lolos interview kerja karena memiliki thalassemia. Memang masih lazim para pemberi kerja memiliki pandangan yang cenderung negatif terhadap para penyintas; kebanyakan berasumsi bahwa kebutuhan izin demi transfusi darah yang akan berlangsung terus-menerus akan membuat para penyintas menjadi kurang produktif dibanding non-penyintas.

Fadel bersama Sandiaga Unodokumen Kemenparekraf Fadel bersama Sandiaga Uno

Isu ketimpangan para penyintas untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan ini masih lepas dari perhatian pemerintah.

Menurut Fadel, untuk mendapat kesempatan yang sama, para penyintas membutuhkan salah 1 dari 3 faktor: pengakuan khusus yang bisa diperoleh dari jaminan atau undang-undang, atau bantuan dari orang dalam, atau memang para pemberi kerja yang sudah mengerti mengenai kondisi penyintas. Sayangnya, ketiganya masih absen dan sangat jarang.

Inilah yang ditangkap dan kemudian juga diperjuangkan oleh Thalassemia Movement, sebuah jaminan yang tidak membeda-bedakan para penyintas thalassemia dalam kesempatan memperoleh pendidikan dan pekerjaan.

Walaupun berjuang untuk tidak dibedakan dalam masalah pendidikan dan pekerjaan, Fadel mengakui bahwa penyintas, terutama yang sudah mengalami komplikasi, membutuhkan perlakuan khusus seperti penyediaan ruang khusus di moda transportasi atau ruang publik.

Mungkin masih belum banyak yang mengetahui bahwa thalassemia adalah sebuah kondisi yang kompleks dan memang memiliki tampilan klinis yang bervariasi dari ringan hingga berat, tergantung dari komplikasi yang mereka alami.

Tidak semua penyintas bergantung pada transfusi darah. Tetapi bagi mereka yang harus mendapatkan transfusi darah untuk bertahan hidup, komplikasi menjadi tidak terhindarkan. Komponen yang dibutuhkan pada darah adalah sebuah protein yang disebut hemoglobin, dan setiap unit hemoglobin mengandung 4 unit zat besi.

Tidak heran, tiap kantong darah mengandung zat besi yang tinggi hingga mencapai puluhan kali lipat dari kebutuhan zat besi harian. Sayangnya, tubuh manusia tidak mampu untuk membuang zat besi yang berlebihan dari transfusi darah tersebut.

Makin lama, jumlah besi dalam darah yang terus masuk dalam tubuh akan menumpuk dalam berbagai organ, terutama jantung, hati, dan berbagai organ yang menghasilkan hormon tubuh. Itulah komplikasi yang bisa terjadi pada penyintas: kelebihan zat besi yang kemudian mengganggu fungsi organ tubuh. Kelebihan zat besi ini bahkan bisa berakibat fatal hingga kematian.

Oleh karena itu, saat ini ada 2 strategi yang rutin dilakukan untuk mengendalikan penumpukan zat besi tersebut. Pertama, para penyintas harus terus mendapat terapi untuk mengikat zat besi yang berlebihan, baik diminum atau disuntikkan. Kedua, setiap jangka waktu tertentu, ada pemeriksaan khusus yang harus dilakukan untuk memantau jumlah besi dalam tubuh dan fungsi organ tubuh yang berisiko.

Dari semua kemungkinan organ tubuh yang terganggu, komplikasi pada jantunglah yang paling ditakuti. Bila sudah ada masalah, henti jantung bisa sewaktu-waktu terjadi – seperti yang terjadi pada Adhit.

Dan pernah terjadi juga pada Fadel. Bulan Juni 2020, ia mengalami gagal jantung dan berlanjut dengan kelainan irama yang fatal. Tidak hanya pijat jantung, terapi kejut jantung pun dilakukan untuk mengatasi kelainan irama, dan berhasil menyelamatkan nyawanya.

Pada saat itu baru diketahui juga bahwa gula darahnya melonjak sangat tinggi akibat penumpukan zat besi pada organ pankreasnya sehingga tidak mampu menghasilkan cukup insulin. Ia didiagnosis diabetes tipe lain. Sampai sekarang, Fadel harus menyuntik insulin sebelum makan.

Fadel sadar, mungkin tidak banyak yang bisa selamat dari kondisi kritis seperti yang dialaminya. Ia tahu bahwa semangat hidupnya dan dukungan dari semua orang yang mengenalnya yang membuat akhirnya bisa bertahan.

Sejak lolos dari kondisi kritis, Fadel menghentikan hobi larinya. Sebelumnya, ia sering mengikuti acara lomba maraton hanya untuk menyelesaikannya dan mendapat medali, bukan untuk mencetak rekor lari. Beberapa kali ia malah berjalan pelan, yang penting mencapai finish. Namun, karena Adhit juga memintanya untuk berhenti, ia pun menurut dan sampai sekarang tidak pernah lagi berlari.

dokumen pribadi penulis Fadel bersama medali-medali larinya

Selain membatasi diri dalam olahraga, masih ada beberapa hal berbeda yang perlu dilakukan penyintas supaya tidak memperberat kondisi mereka. Konsumsi alkohol, rokok, dan makanan yang tinggi zat besi sudah jelas harus direm. Namun, tidak dipungkiri, beberapa penyintas masih sulit untuk taat dengan batasan yang ada.

Tidak mudah untuk serba dibatasi dan berobat seumur hidup. Pada titik tertentu, semua penyintas mengalami pasang surut semangat hidup. Di sinilah peran psikolog untuk kesehatan mental menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam program perawatan penyintas.

Bahkan beberapa kasus membutuhkan bantuan psikiater; seperti yang juga terjadi pada Fadel. Dari awal tahun ini, ia mengalami kesulitan berkonsentrasi. Bagaimanapun usahanya melawan maupun pasrah dengan berbagai pikiran yang menyerang, ia hanya terus berkutat tanpa bisa berkutik mengendalikan pikirannya.

Setiap ada hal yang dirasa mengganggu, Fadel selalu terbuka dan bertanya kepada dokter yang sejak dulu menanganinya, Prof. Dr. dr. Pustika Amalia, Sp.A(K). Beliau adalah salah satu dokter anak di RSCM yang mendedikasikan diri untuk para penyintas thalassemia.

Akrab dipanggil Prof. Lia, beliau dikenal sebagai sosok keibuan yang tegas, dan mungkin tidak sedikit yang ‘takut’. Namun, semua penyintas yang berobat di RSCM kenal dekat dengan beliau, dan tidak jarang kedekatan tersebut terus berlanjut bahkan sampai setelah beranjak dewasa. Beliau juga yang kemudian menyarankan Fadel untuk berkonsultasi dengan psikiater.

Dari diagnosis depresi, setelah melalui pemantauan lebih lanjut, Fadel didiagnosis post-traumatic stress disorder. Banyak faktor yang dianggap memicu kondisi tersebut terjadi pada Fadel, termasuk episode kritis yang sempat dialami.

Setelah mendapat psikoterapi, obat antidepresi, dan healing bersama Adhit ke mana saja mereka suka, perlahan kondisi Fadel mulai membaik. Sama-sama menyukai film Star Wars, keduanya kerap mengucapkan “may the force be with you” kepada satu sama lain untuk saling menguatkan. Dalam suka duka, keduanya memang giat saling memberi semangat. Sampai kemudian Adhit meninggal.

Entah kenapa, Fadel cukup kuat untuk menahan tangis saat ibunya menggedor pintu kamarnya pagi-pagi memberi tahu kabar duka, bersiap ke rumah sakit, hingga melihat jenazah Adhit. Bahkan selama di ambulans, ia tetap diam saat memangku tubuh Adhit yang sudah kaku. Tangisnya baru pecah di pemakaman saat tanah menutup pusara tempat peristirahatan terakhir sahabatnya.

Tangis Fadel pecah di pemakaman saat tanah menutup pusara tempat peristirahatan terakhir sahabatnya. dokumen pribadi penulis Tangis Fadel pecah di pemakaman saat tanah menutup pusara tempat peristirahatan terakhir sahabatnya.

Walaupun dianggap kembar, Adhit dan Fadel memiliki perbedaan dalam selera berpakaian. Adhit gemar dengan baju warna terang, sementara Fadel setia dengan warna gelap. Satu-satunya baju terang yang dimiliki Fadel adalah kembaran dengan Adhit. Dengan baju kembaran itulah, Fadel bertahan sampai larut malam mendoakan Adhit, sampai tamu terakhir pulang dan kedua orangtua Adhit juga pamit istirahat.

Fadel tidak beranjak sampai akhir karena merasa ini gilirannya memastikan Adhit "sampai" dan beristirahat dalam damai. Sebelumnya, Adhit-lah yang terus mengantar Fadel pulang tiap mereka pergi bersama, termasuk tiap kali selesai "minum darah" demi memenuhi kebutuhan mereka sebagai the real life vampire.

Kebijakan

Setelah mengantar Adhit "pulang", mental Fadel kembali jatuh terpukul telak. Tidurnya berantakan lagi. Mau tidak mau, iapun mengambil cuti kerja.

Karena belum bisa move on, Fadel berusaha mencari distraksi. Ia menjadi senang mengobrol dengan siapapun tentang apapun. Setiap ada kebutuhan untuk pergi, ia cenderung memilih transportasi publik seperti MRT karena lebih banyak kesempatan baginya untuk mengobrol bersama orang yang berpapasan dengannya.

Selain mengalihkan perhatiannya, Fadel sadar bahwa mengobrol juga menjadi bagian dari latihan komunikasi seperti yang dipesankan Adhit. Kebutuhan yang kemudian menjadi bekalnya untuk meneruskan apa yang sudah mereka mulai bersama dengan Thalassemia Movement: sebuah perundangan hukum untuk mengatur screening thalassemia secara nasional.

Fadel sadar ini sebuah perjuangan berat yang masih panjang. Namun, ini adalah tanggung jawabnya sebagai seorang penyintas: memastikan jumlah penyintas tidak bertambah.

Sebenarnya, perjuangan itu sudah pernah mencapai sedikit titik terang ketika Pak Sandiaga Uno menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2018 lalu. Ketika itu, screening thalassemia sudah menjadi kewajiban bagi pasangan yang mau menikah di DKI Jakarta. Saat mendaftar ke Kantor Urusan Agama, para calon pengantin harus menyertakan tes darahnya di puskesmas kelurahannya masing-masing.

Sayangnya, kebijakan tersebut mentah kembali dengan pergantian Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta. Dari kewajiban kembali menjadi formalitas.

Walau sempat kecewa, pengalaman tersebut tetap membuatnya sadar bahwa kebijakan itu pernah dan bisa menjadi kenyataan. Ia pun bermimpi bahwa program screening thalassemia bisa dimulai lagi sebagai pilot project dari Pemerintah Daerah untuk kemudian dibawa ke Pemerintah Pusat.

Mimpinya yang paling ujung: pembuatan kebijakan nasional screening pencegahan thalassemia oleh Kementrian Kesehatan.

Sampai cita-cita tersebut tercapai, setiap anggota Thalassemia Movement sudah diwanti-wanti untuk menjaga diri sendiri dan keluarga terdekat atau ring 1 sesuai istilah mereka, untuk melakukan screening thalassemia sebelum menikah. Dengan screening tersebut, dari yang sudah menikah dan kemudian mempunyai anak, tidak ada anggota Thalassemia Movement yang memiliki keturunan sebagai penyintas.

Sementara dalam keluarganya, Fadel mendapati bahwa sepupunya dan calon suaminya saat itu adalah sama-sama carrier. Pada akhirnya, keduanya tetap memilih untuk menikah. Namun, mereka telah terinfokan kemungkinan keturunannya menjadi seorang penyintas thalassemia. Pada titik ini, mereka memutuskan untuk sementara menunda memiliki keturunan terlebih dulu.

Thalassemia Movement sadar bahwa mereka tidak berhak melarang pernikahan sesama carrier dan keputusan untuk tidak menggunakan bayi tabung demi mendapatkan keturunan yang bukan seorang penyintas.

Oleh karena itu, menurut mereka, akan lebih baik bila screening thalassemia dilakukan bukan pada saat sebelum menikah, tapi lebih dini lagi seperti pada program sekolah. Dengan mengetahui sejak awal, siapa tahu kemungkinan jatuh cinta pada sesama carrier dan pernikahannya bisa lebih diminimalisir.

Strategi lain yang berusaha diraih oleh Thalassemia Movement adalah menjangkau masyarakat. Selama belum bisa menggugah pemerintah, maka usaha untuk membuat jalur pintas memangkas pertambahan penyintas hanya bisa diperoleh bila masyarakat ikut awas. Upaya merintis jejak di berbagai platform adalah untuk mengikis ketidakacuhan terhadap penyintas, bukan untuk pansos apalagi curcol.

Bahkan dari awal Adhit dan Fadel sudah gencar melakukan edukasi dimanapun mereka berada. Tidak muluk-muluk, audiens yang berusaha mereka capai adalah yang tepat berada di tempat mereka biasa nongkrong bersama, yang justru adalah kaum muda dari Milenial dan Gen-Z. Sebuah irisan generasi yang harus dibekali kesadaran screening thalassemia karena sudah mulai ditanya ‘kapan nikah?’.

Untuk kelompok ini, Fadel harus mencari akal karena komunikasi formal jelas tidak mempan. Mereka-lah bukti efektif yang menunjukkan tidak selamanya edukasi dilakukan dengan presentasi. Pendekatan dark jokes dan self-bully justru menjadi strategi yang lebih jitu untuk mendapat perhatian mereka agar bisa tercapai transfer informasi terkait thalassemia dan problematika dirinya sebagai seorang penyintas.

Fadel sudah kenyang makan berbagai bentuk bully yang terus didapatnya selama bangku sekolah. Alih-alih menjatuhkannya, pengalaman menyakitkan itu justru yang membuat Fadel kuat dan lincah berstrategi mendekati Gen-Z saat ini. Sebuah prinsip yang berat tapi terus dipegangnya erat, karena itulah quote terakhir dari sang sahabat melalui chat sebelum ia menutup usia: “What doesn’t kill you make you stronger pak”.

Adhit dan Fadeldokumen pribadi penulis Adhit dan Fadel

Harapan Thalassemia Movement yaitu semua lapisan masyarakat paham beban seorang penyintas dan tahu bahwa itu bisa dicegah dengan melakukan screening. Fadel sangat berharap, tidak ada lagi yang perlu menghadapi apa yang ia hadapi sebagai penyintas thalassemia berat.

Saat ini, dunia mungkin merayakan pencapaian 8 miliar penduduk bumi sebagai sebuah perbaikan banyak hal. Namun, pertumbuhan penduduk ini akan terus menghasilkan penyintas baru bila tidak dilakukan pencegahan melalui screening thalassemia. Itulah perjuangan yang terus dilanjutkan Thalassemia Movement, supaya tidak ada lagi the real life vampire yang baru.

Penutup: sebagai pihak yang sudah membaca artikel ini, tolong lakukan bagianmu. Lakukan screening thalassemia dan bagikan betapa penting langkah pencegahan ini untuk ikut menurunkan jumlah angka penyintas menuju zero born thalassemia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com