Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Nur
PNS Kementerian Keuangan

PNS Kementerian Keuangan

Ironi KIP Kuliah dan Hedonisme Mahasiswa

Kompas.com - 14/05/2024, 09:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BARU-baru ini muncul fenomena relatif miris di negeri kita, yaitu KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran karena adanya oknum pemegang kartu KIP Kuliah bergaya hidup hedon.

Tentu hal ini memantik rasa penasaran dalam benak kita, tentang bagaimana mekanisme pendaftaran, verifikasi data, hingga seseorang bisa mendapatkan KIP Kuliah dengan “sebegitu mudahnya", sampai-sampai seseorang yang justru mampu secara ekonomi, tapi mendapatkan KIP Kuliah.

Ironi jika kita juga melihat kondisi biaya kuliah yang semakin tinggi, angka kemiskinan stagnan, namun para penerima bantuan dari negara justru orang-orang yang notabene memiliki kemampuan ekonomi untuk melanjutkan pendidikannya.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi di balik layar tentang KIP Kuliah ini? Apakah kondisi penerima yang tidak tepat sasaran hanya terjadi pada sebagian kecil saja, atau justru golongan ini yang mendominasi penerima KIP Kuliah?

Ataukah memang biaya pendidikan sudah terlalu mahal, sehingga orang-orang memanfaatkan KIP Kuliah untuk keuntungan pribadinya?

Atau jangan-jangan, memang gaya hidup hedonisme sudah terlalu menyebar di kalangan generasi muda kita?

Sebelum membahas lebih lanjut, mungkin ada baiknya kita melihat ke prinsip awal dari pemberian beasiswa pendidikan melalui KIP Kuliah.

Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah adalah salah satu upaya pemerintah dalam membantu siswa berprestasi yang memiliki keterbatasan ekonomi agar dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi (kip-kuliah.kemdikbud.go.id).

Dari penjelasan ringkas ini saja kita dapat menangkap bahwa kriteria utama penerima KIP Kuliah adalah siswa berpestasi dan keterbatasan ekonomi.

Ketika ada seseorang yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan KIP Kuliah, tetapi sesungguhnya ia mampu ekonominya, maka tentu ada aspek-aspek norma, etika, dan empati yang mungkin dilanggar (setidaknya secara pribadi). Padahal anggaran untuk KIP Kuliah relatif besar.

Dikutip dari laman kemdikbud.go.id (12/2/2024), alokasi APBN untuk KIP Kuliah sebesar Rp 13,9 triliun untuk sasaran penerima sebanyak 985.577 mahasiswa, yang terdiri dari 200.000 penerima baru dan sisanya untuk mereka yang on-going.

Rata-rata, setiap mahasiswa dapat menerima beasiswa KIP Kuliah antara Rp 2,4 juta hingga Rp 12 juta untuk pembebasan biaya pendidikan (UKT/SPP per semester) serta komponen biaya hidup sebesar Rp 800.000 hingga Rp 1,4 juta per bulan (bbc.com, 3/5/2024).

Jumlah tidak sedikit itu sudah seharusnya diberikan kepada para penerima yang benar-benar layak, yaitu mereka yang berprestasi dan keterbatasan ekonomi.

Maka cukup mengherankan ketika ada orang-orang yang sebetulnya mampu ekonominya (walaupun berprestasi) masih tergiur untuk mencari peluang mendapatkan KIP Kuliah.

Apalagi di kemudian hari, ternyata juga ditemukan kasus-kasus hedonisme sebagian oknum para pemegang KIP Kuliah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com