Kita cukup menjadi manusia, membela orang-orang Palestina yang didera oleh kebathilan dan kezaliman Israel, dari waktu ke waktu. Kita cukup menjadi manusia, untuk menaruh belas kasih pada orang-orang Palestina yang tanahnya sudah direbut paksa, lalu kini nyawa-nyawa mereka juga direbut dengan kekerasan oleh kebengisan sebuah kebijakan pemerintah Israel.
Gerakan perlawanan Hamas yang identik dengan bangsa Palestina itu, memang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Tapi jangan melihat kekerasan itu belaka. Mari kita menggeledah, mengapa kekerasan Hamas itu terjadi?
Hamas hanyalah bagian dari kita, manusia yang memiliki harga diri. Manusia yang memahami arti “milik.” Kalau itu jadi milik, harus dipertahankan. Sejengkal tanah berarti segenggam harapan. Sejengkal tanah berarti taruhan hidup dan mati, karena kepemilikan sesuatu berarti harga diri ada di sana.
Kita tidak perlu bersekolah tinggi untuk memahami dan merasakan derita dan nasib tragis bangsa Palestina. Sebuah bangsa yang memiliki jejak panjang dan abadi di sebuah tempat, yang mereka huni sudah turun temurun.
Sebuah ruang, tempat mereka beranak pinak. Tempat yang menjadi milik mereka.
Masihkah kita harus berdebat bagaimana ruang yang menjadi milik itu, secara sepihak dan semena-mena, dibuldozer begitu saja, lalu pemilik sahnya yang bernama bangsa Palestina, diusir dengan cara-cara kekerasan, yang bisa memutus mata rantai sebuah bangsa yang kita labeli sebagai bangsa Palestina?
Baca juga: Perang Hamas-Israel Tewaskan 10.000 Orang di Gaza, Bagaimana Cara Menghitungnya?
Bangsa, bukan hanya ras. Bukan juga hanya agama. Bangsa adalah sebuah ruang yang bernama teritori. Di dalam teritori itulah kedaulatan ditegakkan. Kedaulatan tanpa teritori, hanyalah sebuah nama. Sebaliknya, teritori tanpa kedaulatan, hanyalah ilusi.
Bangsa Palestina berjuang dengan cara apa pun, demi ruang yang dirampas itu. Ruang miliknya itulah yang menjadi kedaulatannya, dan hanyalah orang yang berdaulat bisa bermartabat.
Tatkala kedaulatan seseorang sudah dinihilkan, di situlah perlawanan dengan segala harga, akan muncul. Di situlah ongkos untung rugi ditepikan. Kalkulasi matematika, dengan sendirinya hilang pada saat kedaulatan tersebut diusik.
Dalam perspektif inilah saya melihat perjuangan anak-anak Palestina, dari generasi ke generasi. Yang mereka tuntut dan perjuangkan, adalah miliknya sendiri, yang dirampok. Bagi mereka, milik yang dirampas, adalah perampasan harga diri.
Bangsa Palestina ingin hidup berdampingan dengan siapa pun, termasuk Israel. Tapi bagaimana caranya hidup berdampingan bila posisi sudah tidak seimbang.
Di satu sisi, Israel mempersepsikan diri sebagai majikan yang memiliki teknologi, modal, kapasitas individu, dan jaringan global.
Di sisi lain, anak-anak Palestina mereka anggap sebagai anak-anak yang lahir dan harus mati di lorong-lorong kumuh yang berdebu, hidup dengan belas kasihan orang atau bangsa lain, papa dan nista.
Tak berdaya. Tak memiliki apa pun.
Solusi dua negara yang diserukan oleh umat manusia sejagat, tidak jadi masalah. Yang penting, tanah milik mereka, dikembalikan dulu. Pengembalian tanah ke pemilik, adalah niat baik untuk diakui.