LEWIS Alfred Coser (1913 –2003), seorang sosiolog kelahiran Berlin, Jerman, meraih popularitas selama karier menjadi peneliti, dosen, penulis, di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Dia menaruh perhatian pada problem konflik dan kekerasan.
Dalam pandangannya, konflik bisa terjadi dalam skala masyarakat manapun, bisa berdampak positif sekaligus negatif. Dalam kasus konflik senioritas antara mahasiswa senior dan yunior, antara kakak kelas dan adik kelas, dalam skala tertentu bisa bernilai positif maupun negatif.
Konflik bernilai positif, dalam hal apa? Senior menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, dengan mengajarkan yunior tiba di kampus tidak terlambat, mentaati peraturan kuliah.
Kemudian, senior menetralisasi gap generasi antara mahasiswa baru dan mahasiswa lama, antara siswa lama dan siswa baru.
Relasi senioritas versus yunioritas itu mendorong disparitas pertemanan, maka menetralisasi kesenjangan menjadi kesetaraan bisa menghilangkan sekat-sekat dalam komunitas mahasiswa. Orientasi siswa atau mahasiswa baru sebagai forum untuk menumbuhkan harmoni antarangkatan.
Sebaliknya senioritas berkonotasi negatif ketika para mahasiswa senior ingin meneguhkan statusnya sebagai kakak tingkat, yang bertendensi untuk menegakkan kekuasaan dengan maksud para adik tingkat harus tunduk dan hormat kepadanya, dan yunior harus melayani senior untuk kepentingan apapun di luar kewajaran.
Apabila yunior tidak memenuhi keinginan atau melaksanakan aturan kakak senior, maka hukuman fisik diterapkan.
Pada situasi ini, antara senior dan yunor tidak ada celah perbedaan, yunior tidak boleh membantah, mengelak perintah senior.
Jika yunior membatah atau mengelak, maka senior menjadikan kekerasan sebagai jalan pintas yang relevan untuk “menyelesaikan” persoalan. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Presiden Asosiasi Sosiologi Amerika ke-66 (1975) itu memandang konflik dalam skala normal seperti perbedaan sikap, untuk adaptasi sekaligus keseimbangan kekuatan antarangkatan dalam kampus atau sekolah atau pesantren, atau antarkelompok dalam masyarakat sebenarnya wajar terjadi, karena itu bagian dari mekanisme penyesuaian sekaligus perubahan sosial.
Yunior di perguruan tinggi, sekolah, pesantren, kelompok masyarakat, perlu adaptasi atau penyesuaian dengan peraturan main universitas, sekolah, madrasah, interaksi dengan teman-teman baru yang selevel maupun seniornya, yang mengendalikan lembaga kemahasiswaan atau aktivis intra dan ekstra kampus.
Suatu saat sudah adaptasi dan konsolidasi dengan lingkungan dan aktivitas di dalamnya, yunior bisa memilih satu dari dua alternatif, yaitu mempertahankan nilai-nilai lama atau membangun nilai-nilai baru yang sesuai dengan kondisi lingkungan.
Memilih membentuk atau membangun nilai-nilai baru, yunior mengambil risiko atau tanggungjawab. Memilih berbeda dalam komunitas bisa menimbulkan resistensi dan rivalitas dengan orang lain atau komunitas lain atau senior.
Rivalitas memicu konflik dalam diri maupun perasaan bermusuhan dengan orang lain atau senior atau komunitas yang berbeda sikap.
Dalam bahasa Georg Simmel, bibit-bibit konflik itu pada awalnya bisa dikendalikan sebagai konflik dalam diri atau hosting filling.