Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Indonesia Harus Mendukung Perdamaian di Palestina?

Suaminya diterjang oleh peluru-peluru Israel malam sebelum ia berjalan dengan kaki diseret siang itu. Mukanya muram, tak menyisakan sedikit pun aura kecantikan masa silam.

Tak dinyana, sebuah mobil panser Israel menggilingnya dari belakang. Kedua anaknya meninggal seketika. Mata ibu itu terfokus pada kedua buah jantung hatinya yang tercabik oleh roda panser.

Tiada suara. Semuanya jadi senyap seketika. Ibu itu sendiri masih sempat berikhtiar meraih jari-jemari anaknya, sebelum ia sendiri menghadap Tuhan beberapa saat setelah kepergian kedua anaknya.

Ia adalah warga Palestina, yang sama sekali tidak pernah mengenal atau pun beraktivitas dengan gerakan Hamas. Suaminya bekerja di sebuah bengkel. Ia sendiri menjadi tukang cuci pakaian, untuk meringankan beban suami.

Kita tidak harus jadi siapa-siapa, untuk menaruh iba pada ibu beserta kedua anaknya yang masih baby itu. Kita cukup jadi manusia untuk merasakan kepedihan tersebut.

Israel berperilaku biadab, membunuh orang-orang yang tak berdosa. Wanita, orang tua, anak- anak kecil, dilumat tanpa rasa sesal, dengan kecanggihan teknologi pemusnah mutakhir, sebagai simbol keangkuhan kekuasaan.

Juru Bicara Hamas Khaled Qadomi menyebutkan, serangan kelompoknya ke Israel dilakukan sebagai respons atas kekejaman yang dirasakan rakyat Palestina selama beberapa tahun belakangan. 

Serangan itu juga merupakan respons atas blokade yang terjadi di Gaza selama 16 tahun. Israel juga menyerang ke kota-kota di Tepi Barat selama setahun terakhir, termasuk tindak kekerasan di Al Aqsa.

"Kami ingin masyarakat internasional menghentikan kekejaman di Gaza, terhadap rakyat Palestina, situs-situs suci kami seperti Al-Aqsa. Semua hal ini adalah alasan di balik dimulainya pertempuran ini," ujarnya dikutip dari Al Jazeera.

Israel berdalih, serangan balasan terhadap Palestina merupakan upaya pembelaan atas serangan mendadak yang dilakukan kelompok Hamas sebelumnya, Sabtu (7/10/2023).

Di antara korban tewas dari kubu Israel itu adalah 260 orang yang sebagian besar adalah anak muda yang ditembak mati di sebuah festival musik di gurun pasir, beberapa sandera diculik.

Merespons serangan Hamas itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah untuk membalas dendam dalam sebuah pidato berapi-api yang menuduh Hamas yang didukung Iran telah mengeksekusi anak-anak yang diikat dan kekejaman lainnya.

Pembelaan diri (self-defense) yang jadi alasan pembenar kebiadabannya, tetap harus tunduk pada prinsip proportionality dan necessity. Tidak membabi buta.

Kita tidak perlu menjadi seorang Kristen untuk membela sesama Kristen. Kita tidak perlu menjadi seorang Muslim untuk membela sesama Muslim. Kita tidak perlu menjadi orang Arab untuk membela orang-orang Palestina yang berketurunan Arab.

Kita cukup menjadi manusia, membela orang-orang Palestina yang didera oleh kebathilan dan kezaliman Israel, dari waktu ke waktu. Kita cukup menjadi manusia, untuk menaruh belas kasih pada orang-orang Palestina yang tanahnya sudah direbut paksa, lalu kini nyawa-nyawa mereka juga direbut dengan kekerasan oleh kebengisan sebuah kebijakan pemerintah Israel.

Gerakan perlawanan Hamas yang identik dengan bangsa Palestina itu, memang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Tapi jangan melihat kekerasan itu belaka. Mari kita menggeledah, mengapa kekerasan Hamas itu terjadi?

Hamas hanyalah bagian dari kita, manusia yang memiliki harga diri. Manusia yang memahami arti “milik.” Kalau itu jadi milik, harus dipertahankan. Sejengkal tanah berarti segenggam harapan. Sejengkal tanah berarti taruhan hidup dan mati, karena kepemilikan sesuatu berarti harga diri ada di sana.

Kepemilikan berarti martabat

Kita tidak perlu bersekolah tinggi untuk memahami dan merasakan derita dan nasib tragis bangsa Palestina. Sebuah bangsa yang memiliki jejak panjang dan abadi di sebuah tempat, yang mereka huni sudah turun temurun.

Sebuah ruang, tempat mereka beranak pinak. Tempat yang menjadi milik mereka.

Masihkah kita harus berdebat bagaimana ruang yang menjadi milik itu, secara sepihak dan semena-mena, dibuldozer begitu saja, lalu pemilik sahnya yang bernama bangsa Palestina, diusir dengan cara-cara kekerasan, yang bisa memutus mata rantai sebuah bangsa yang kita labeli sebagai bangsa Palestina?

Bangsa, bukan hanya ras. Bukan juga hanya agama. Bangsa adalah sebuah ruang yang bernama teritori. Di dalam teritori itulah kedaulatan ditegakkan. Kedaulatan tanpa teritori, hanyalah sebuah nama. Sebaliknya, teritori tanpa kedaulatan, hanyalah ilusi.

Bangsa Palestina berjuang dengan cara apa pun, demi ruang yang dirampas itu. Ruang miliknya itulah yang menjadi kedaulatannya, dan hanyalah orang yang berdaulat bisa bermartabat.

Tatkala kedaulatan seseorang sudah dinihilkan, di situlah perlawanan dengan segala harga, akan muncul. Di situlah ongkos untung rugi ditepikan. Kalkulasi matematika, dengan sendirinya hilang pada saat kedaulatan tersebut diusik.

Dalam perspektif inilah saya melihat perjuangan anak-anak Palestina, dari generasi ke generasi. Yang mereka tuntut dan perjuangkan, adalah miliknya sendiri, yang dirampok. Bagi mereka, milik yang dirampas, adalah perampasan harga diri.

Bangsa Palestina ingin hidup berdampingan dengan siapa pun, termasuk Israel. Tapi bagaimana caranya hidup berdampingan bila posisi sudah tidak seimbang.

Di satu sisi, Israel mempersepsikan diri sebagai majikan yang memiliki teknologi, modal, kapasitas individu, dan jaringan global.

Di sisi lain, anak-anak Palestina mereka anggap sebagai anak-anak yang lahir dan harus mati di lorong-lorong kumuh yang berdebu, hidup dengan belas kasihan orang atau bangsa lain, papa dan nista.

Tak berdaya. Tak memiliki apa pun.

Solusi dua negara yang diserukan oleh umat manusia sejagat, tidak jadi masalah. Yang penting, tanah milik mereka, dikembalikan dulu. Pengembalian tanah ke pemilik, adalah niat baik untuk diakui.

Milik adalah simbol kedaulatan diri. Kepemilikan, karena itu, wajib untuk dibela, dengan segala ongkos yang harus dibayar. Bangsa Palestina membela miliknya. Bukan bertindak di luar perikemanusiaan. Bukan semena-mena. Mereka justru diperlakukan dengan semena- mena.

Keadilkan adalah nilai asasi yang bersifat universal. Tidak disekat oleh agama, suku, ras, atau aliran. Kita mendukung Palestina karena kita menyatu dalam kebersamaan universal itu: keadilan.

Nelson Mandela pernah berucap: “Kemerdekaan Afrika Selatan, tidak memiliki arti tanpa kemerdekaan Palestina.” Mandela mengaum di Afrika sana. Ia adalah seorang Afrika. Bukan orang Arab. Ia berbicara sebagai manusia yang bermartabat.

Dalam film drama kemanusiaan yang bertema keadilan, Just Mercy, pengacara muda, Bryan Stevenson (Michael Bakari Jordan), setelah membebaskan kliennya dari hukuman mati, Walter McMillan (Jamie Fox), berkata: “Opposite of poverty, is not wealth. Opposite of poverty is justice.” Akankah kita biarkan keadilan itu digilas oleh Israel?

https://www.kompas.com/tren/read/2023/11/07/201401965/mengapa-indonesia-harus-mendukung-perdamaian-di-palestina

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke