Nadiem menyampaikan, sejauh ini terdapat banyak kendala terkait tugas akhir, baik oleh perguruan tinggi ataupun mahasiswa.
Selain beban dari segi waktu, pengerjaan skripsi dinilai menghambat mahasiswa dan perguruan tinggi untuk bergerak luas merancang proses dan bentuk pembelajaran sesuai kebutuhan keilmuan dan perkembangan teknologi.
"Padahal perguruan tinggi perlu menyesuaikan bentuk pembelajaran agar lebih relevan dengan dunia nyata," kata dia, dikutip dari Kompas.com, Selasa.
"Karena itu perguruan tinggi perlu ruang lebih luas untuk mengakui dan menilai hasil pembelajaran di luar kelas," tambahnya.
Baca juga: Rektor Termuda Risa Santoso Bolehkan Mahasiswa Lulus Tanpa Skripsi, Ini Tanggapan Dikti
Selain itu, Nadiem melanjutkan, tidak semua program studi dapat mengukur kompetensi mahasiswa hanya dari skripsi.
Misalnya, program studi vokasi dengan keterampilan teknis akan lebih cocok dengan tugas akhir seperti proyek atau bentuk lainnya.
Pun serupa dengan program studi akademik, tak semua mahasiswa dapat diukur dengan cara yang sama.
Untuk itu, program studi sarjana terapan yang sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk lain yang sejenis, dapat menerapkan kebijakan tidak mewajibkan tugas akhir.
Namun, jika masalah skripsi tak wajib menjadi masalah saat proses akreditasi, perguruan tinggi dapat menyampaikan kompetensi selama perkuliahan sebagai argumen.
"Saat proses akreditasi perguruan tinggi bisa berargumen apabila kompetensi anak-anak selama 3,5 tahun itu sudah sama dengan skripsi dan itu bisa dibuktikan selama mereka kuliah di tahun-tahun tersebut," tandas Nadiem.
(Sumber: Kompas.com/Sandra Desi Caesaria | Editor: Dian Ihsan/Albertus Adit)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.