Futurolog dunia, Alfin Toffler (1980) dalam bukunya The Third Wave memprediksi, peradaban manusia akan selalu bertransformasi dan berubah melalui gelombang pertanian, gelombang perindustrian, dan gelombang teknologi informasi.
Nomura Institute (2012) dari Jepang menyatakan, kreativitas akan menjadi primadona aktivitas ekonomi mendatang, menggantikan fokus saat ini yaitu teknologi informasi. Maknanya, dibutuhkan kreativitas yang mampu membangun sumber daya manusia, serta mampu memanusiakan manusia. Mengapa? Karena aset terpenting pembangunan adalah manusia.
Terdapat sebuah amanah besar untuk menciptakan generasi penerus yang berilmu, cakap, kreatif dan bertanggung jawab. Tugas yang berat ini, tentunya perlu diemban dengan cara yang baik, kreatif dan penuh ide solutif.
Satu hal yang paling berkaitan tentunya adalah proses belajar mengajar yang diikuti oleh peserta didik. Pertanyaan klasiknya adalah, sudahkan proses belajar mengajar yang selama ini dilakukan mampu memenuhi amanah UU tersebut?
Hal itu tentunya bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Namun, keyakinannya adalah setiap ide atau gagasan baru untuk memajukan proses dan aktivitas pendidikan di Indonesia merupakan sesuatu yang berharga.
Setiap peserta didik perlu ingat bahwa setiap individu memiliki kendali terhadap diri dan kehidupannya. Covey dalam The 7 Habits menggunakan istilah lingkar pengaruh untuk menggambarkan kekuatan individu mengendalikan kehidupannya.
Amanah program pendidikan adalah memastikan setiap peserta didik memiliki kemandirian dalam memilih sikap sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dan diyakini. Hal ini terutama disebabkan kegamangan dan ketidakmandirian dalam bersikap akan menghasilkan generasi yang galau, mudah terbawa arus, mudah menyalahkan kepada yang tidak satu pikiran.
Masalahnya, apakah mereka mampu menangkap ‘sikap’ yang diharapkan mereka miliki di negara ini? Sudahkan kita semua mampu memberikan ekosistem yang dipupuk dengan subur, sehingga bibit sikap positif yang diharapkan tersebut dapat tumbuh dengan baik. Atau sebaliknya, generasi muda sulit menumbuhkan sikap positif karena lingkungan terlalu pragmatis dan cenderung mendorong mereka berpikir instan dan cepat cuan?
Proses pembelajaran untuk membangun kemandirian bersikap tidak cukup hanya menggunakan pendekatan klasikal dan klasial. Dituntut personal touch yang lebih tinggi dari pendidik untuk memastikan perkembangan pemikiran, opini dan sikap peserta didik.
Dibutuhkan evaluasi periodik untuk memastikan bahwa peserta didik berkembang ke arah indikator yang diharapkan dan bukan sebaliknya. Beberapa indikator sederhana dapat mulai diciptakan seperti learning report dan acitiviy report.
Prinsipnya, ada upaya lebih untuk berupaya mencatat dan memahami gerak dan dinamika kemandirian bersikap peserta didik. Juga untuk selalu mencatat pergerakan adab dan akhlak, sudahkah menjadi semakin positif dari hari ke hari? Sudahkah semakin terbangun ketaatan beragama dari waktu ke waktu? Serta sudah cukupkah stakeholder yang dilibatkan dalam proses tumbuh kembang anak dan generasi muda?
Ajakan untuk bergabung dalam ragam jenis komunitas setiap hari datang dengan terbuka di jejaring media sosial, mulai dari yang paling positif sampai yang paling negatif. Menghadapi ini, kedewasaan bersikap adalah modal penting untuk tidak terjerumus.
Peserta didik yang sudah memiliki keyakinan penuh terhadap kebenaran yang dipegangnya, tidak akan mudah tergoda untuk mengikuti hal yang bertentangan dengan keyakinannya.
Pada zaman digital ini, manusia memiliki akses yang hampir tidak terbatas terhadap sumber ilmu pengetahuan. Namun, belum banyak yang mampu meningkatkan kemampuan daya pikirnya. Inisiatif dan kemandirian berpikir kebanyakan peserta didik di Indonesia belum (tidak) serta merta terbangun melalui melimpahnya sumber daya tersebut.
Inilah tantangan selanjutnya, yaitu membangun kemandirian dalam berpikir, yang berarti bahwa peserta didik memiliki daya dorong yang kuat untuk melakukan aktivitas menganalisa serta mengevalusi beragam kondisi dan stimulasi yang dihadapi.