Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Risiko Kebohongan Publik dan Daya Tahan Demokrasi

Kompas.com - 09/03/2023, 08:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pers Merdeka dan Bertanggungjawab

Presiden Bacharudin Jusuf (BJ) Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada 23 September 1999. Dalam bagian pertimbangannya, UU ini mengakui bahwa kemerdekaan pers adalah wujud kedaulatan rakyat.

Pasal 2 UU itu berbunyi: “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud Kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”

Pasal 4 (ayat 1, 2,3) UU itu berbunyi: Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran; Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Secara historis, pers memiliki jejak panjang memperkuat nilai-nilai demokrasi. Sejak abad 17 M hingga awal abad 21, Areopagitica; A speech of Mr. John Milton for the Liberty of Unlicenc’d Printing, to the Parlament of England, karya prosa setebal 31 halaman dari John Milton (1644) asal Inggris, diakui sebagai pembelaan sistematis dan filosofis pertama terhadap konsep klasik kemerdekaan pers.

Menurut John Milton, pengakuan, jaminan dan perlindungan kemerdekaan menyatakan pendapat bukan semata-mata untuk kebebasan, tetapi melindung pencarian kebenaran (a tacit protection of truth). Maka, Milton misalnya memperjuangkan kebebasan pencetakan tanpa lisensi dan sensor dari Monarki Inggris untuk mencapai kebenaran.

Pidato John Milton di depan parlemen Inggris abad 17 M, menurut riset Regina M Schwartz (2012: 47-58), bukan jurubicara liberalisme, tetapi jurubicara kemerdekaan pers untuk mencapai dan menyuarakan kebenaran.

Filosofi kemerdekaan pers itu belum sampai ke Hindia Belanda hingga awal abad 20. Misalnya, tahun 1906, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menerapkan peraturan (KB 19 Maret 1906 Ind.Stb. No. 270) alat represi pers dan karya cetak. Isinya, mewajibkan penerbit atau percetakan mengirim naskahnya sebelum dicetak dan diterbitkan atau beredar; tidak ada sanksi penyegelan, kecuali denda 10-100 gulden.

Awal abad 20, pers cetak dari orang Indonesia asli mulai menulis benih-benih, spirit patriotisme, nilai kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia (Basri, 1987:28). Misalnya, tahun 1905, tercatat 36 judul surat kabar cetak berbahasa Jawa dan Melayu.

Pers bukan semata sarana komersial, tetapi sarana pendidikan dan alat perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Misalnya karya Mohammad Junus, RK Mangunatmodjo, Abdul Muis, A Ramli, dan Parada Harahap (Effendi, 1983:236).

Surat kabar Benih Merdeka, yang terbit tahun 1916, menandai fase pertama kata "merdeka" muncul dalam pers milik orang Indonesia asli yang merilis perjuangan hak-hak ekonomi dan demokrasi untuk orang Indonesia asli. Anthony Reid (2004:69) menulis: “... the radical daily Benih Merdeka (the seed of freedom), led a vigorius campaign centring around democratic reforms and the economic problems which began to affect the labourer and peasant with the end of Deli’s reckless open frontier during the first world war.”

Pada abad 20, pers selalu dilihat sebagai bagian atau sub-sistem dari suatu sistem politik suatu negara. Karena itu, kategorisasi pers yang membagi pers liberal, pers otoriter, pers marxis, dan pers bebas-bertanggungjawab merujuk kepada sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang dianut atau berlaku pada suatu negara (Jacob Oetama, 2001:50).

Maka, lazim pers dilabel sebagai ‘majelis atau pilar ke-4’ sistem politik.

Baca juga: Wanti-wanti soal Disinformasi, Mahfud: Pemilu 2024 Terbesar dan Terumit di Dunia

Pers juga menjadi indikator level korupsi informasi pada tiap sistem pemerintahan. “Low levels of press freedom lead to high levels of corruption.” Atau rendahnya kadar kemerdekaan pers atau hak dan akses informasi rakyat memicu tingginya level korupsi.

Begitu hasil riset dan kajian Rudiger Ahrend (2000:3) asal DELTA (Paris), London School of Economics, dan Russian European Centre for Economic (Moskwa) terhadap data selama 12 tahun pola hubungan antara kebebasan pers, pendidikan, dan korupsi pada 130 negara.

Kini awal abad 21, big data menghasilkan informasi skala besar (volume) yang terstruktur atau tidak terstruktur, real-time (velocity) dan kadang tanpa kejelasan sumber (veracity) yang menerabas batas-batas negara. Tren ini sangat memengaruhi praktek dan prinsip-prinsip kemerdekaan pers dan tanggungjawab pers di berbagai negara. Misalnya, disinformasi dan misinformasi akhirnya menggerus pers merdeka dan bertanggungjawab.

Pasal 28 F UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Cita-cita hukum itu dapat diraih melalui pers merdeka dan bertanggungjawab. Pers merdeka dan bertanggungjawab juga dapat menyuarakan hak-hak dasar rakyat melalui proses demokrasi.

Pers merdeka dan bertanggungjawab mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk mencegah risiko kebohongan publik dari para pelaku demokrasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com