Disinformasi juga berisiko menggerus upaya bangsa Indonesia agar tercipta kehidupan cerdas sesuai amanat alinea 4 Pembukaan UUD 1945.
Freedom Online Coalition dan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pada 8 Juli 2022 di markas UNESCO, Paris (Prancis) menggelar sesi brainboost dengan tema khusus disinformasi dan demokrasi. Konferensi itu melibatkan para diplomat dari delegasi permanen UNESCO, akademisi, dan staf UNESCO.
“Widespread misinformation and disinformation are often instrumentalized during election times to sow division, target certain groups, or seek political gain,” papar Tawfik Jelassi, Assistant Director-General for Communication and Information, pada konferensi UNESCO itu.
Jadi, misinformasi dan disinformasi sering digunakan dalam pemilu yang memicu perpecahan, menyasar kelompok tertentu, dan mencari keuntungan.
Kajian kelompok kerja UNESCO tentang disinformasi menyebut mesin produksi misinformasi dan disinformasi ialah ‘instigators’ (para pencipta konten) dan ‘agents’ yang menyebarluaskan info-sesat, misalnya influencer, orang per orang, pejabat, kelompok, perusahan, atau lembaga (perusahan konsultan) tertentu (Bontcheva et al eds, 2020).
Selama ini, metrik utama media sosial ialah trending, tweeting, dan retweeting. Metrik semacam ini, ungkap Olaniran et al (2020:87), sangat mudah dimanipulasi, dibeli, atau dipalsukan.
Akibatnya, suatu isu tertentu dapat meraih dukungan luas dengan tampil seolah-olah informasi benar atau berbasis fakta asli atau otentik. Tren ini dilabel oleh Michail Tsikerdekis (2014:72-80) sebagai desepsi online akibat sifat manusia suka bohong untuk merebut keunggulan atau keuntungan.
Mesin kebohongan publik melalui disinformasi dan misinformasi melibatkan banyak muslihat. Misalnya, muslihat amplification yakni melipat-gandakan jangkauan informasi secara artifisial melalui manipulasi hasil-hasil kerja search-engine (mesin pencari data), promosi tagar atau tautan di media sosial (Earle, 2017).
Muslihat bots yakni akun media sosial dioperasikan oleh program komputer untuk menghasilkan postingan atau berinteraksi dengan konten platform sosial.
Muslihat lainnya ialah astroturf campaign yakni memicu kesan seolah-olah suatu informasi atau pesan-pesan tertentu sungguh berasal dari massa akar-rumput; sedangkan sponsor utama dan riil dari pesan atau informasi tersebut dipalsukan dan disembunyikan.
Muslihat impersonation, meniru identitas media, orang, atau pihak berwenang melalui situs atau akun media sosial palsu. Riset Martin-Rozumi?owicz et al (2019) menyebut juga muslihat deep fakes dengan mengedit video atau audio secara digital.
Baca juga: Interaksi Akun Penyebar Misinformasi di Twitter Meningkat 44 persen
Muslihat-muslihat tersebut di atas sangat berisiko terhadap demokrasi di berbagai negara. Alasannya, antara lain, menurut Stephan Lewandowsky (2017) asal University of Bristol (Inggris): “Democracy relies on people being informed about the issues so they can have a debate and make a decision.”
Jadi, pilihan-pilihan kebijakan demokratis sangat bergantung pada hak dan akses publik ke isu-isu kepentingan umum.
Kita juga baca hasil riset Samantha Bradshaw dan Philip N Howard (2019) tentang disinformasi pada 45 negara demokrasi awal abad 21. Para politisi memakai sarana propaganda komputasional mengumpulkan pengikut ‘palsu’; tujuannya ialah merebut dukungan pemilih. Di sisi lain, politisi pada 26 negara lainnya, menggunakan sarana propaganda komputasional untuk mengontrol informasi, menekan pendapat umum, mengekang pers, dan mendiskreditkan oposisi.
Para politisi di negara-negara Uni Eropa, ungkap Judit Bayer et al (2019), dapat memanipulasi informasi publik melalui sensor pilihan online, misalnya menghapus konten tertentu dari media digital, meretas, membagi, dan memanipulasi hasil mesin pelacak data.