Mirip dengan generasi 80-90-an saat dia memakai, katakanlah Triset atau Tira, dia menjadi bagian kaum menengah-elite, maka generasi sekarang yang dipelosok jika berkaos Cotton On dan bercelana Giordano, ia merasa menjadi bagian komunitas global.
Pertanyaannya, mengapa merek-merek lokal yang sudah berusia puluhan tahun tersebut sampai hari ini tetap bisa bertahan dari serbuan merek global?
Ada dua alasan. Pertama, nostalgia. Presiden Jokowi dan para menteri ketika berjalan-jalan di sebuah mal di Pekanbaru dan masuk ke gerai Hammer dan bersama-sama membeli produk Hammer kemudian dipakai, unsur nostalgianya begitu kentara.
Benar bahwa Jokowi dan Erick Thohir -salah satu menteri yang menyertai Jokowi- getol mempopulerkan produk-produk lokal. Dalam setiap kunjungan ke daerah, bisa dipastikan Jokowi akan membeli dan memakai produk lokal daerah bersangkutan.
Namun untuk kasus Hammer, bau menyengat nostalgia menyertai. Jokowi pada zamannya mampu membeli merek-merek tersebut. Hari ini, Jokowi dan generasi menengah 80-90-an bernostalgia kembali pada masa mudanya nan ceria.
Kedua, "balas dendam". Ini berlaku untuk orang-orang seperti saya yang pada zaman itu tidak mampu membeli kaos H&R dan celana Watchout. Kami yang pada waktu itu pengikut aliran kebatinan -memakai merek kelas menengah sekedar dalam batin- hari ini mampu membeli.
Kebetulan pula merek-merek tersebut masih eksis. Hari ini kami balas dendam membeli fashion merek lokal tersebut.
Saya belum punya data hari ini siapa pemakai merek-merek lokal yang berjaya di era 80-90-an. Namun cobalah amati orang-orang disekitar Anda. Para pemakai merek-merek lokal ini mayoritas berumur di atas 40 tahun. Bahkan banyak yang sudah rambutnya putih dan dahinya berkerut, mirip calon Presiden Indonesia 2024 seperti dikatakan Jokowi.
Sementara fashion dengan merek-merek global mayoritas dipakai generasi masa kini.
Bagaimana caranya agar pakaian bermerek lokal ini menjadi tuan rumah kembali? Mengoptimalkan momentum, jawabannya. Kebetulan pula Jokowi dan Erick Thohir memiliki hobi mengampanyekan produk lokal.
Menarik belajar dari kasus Bipang Ambawang. Alkisah, Jokowi ”tidak sadar” mengeja Bipang Ambawang sebagai salah satu oleh-oleh lokal.
Di Pontianak, kedai Bipang Ambawang tak lebih dari kedai kuliner yang hanya didatangi satu-dua konsumen. Di sinilah kejelian pengelola Bipang Ambawang memanfaatkan momentum.
Oleh-oleh khas Pontianak diamplifikasi gede-gedean oleh pengelola. Bahkan warganet ikut segendang-sepenarian dengan pengelola Bipang Ambawang. Dalam waktu sekejap, kedai Bipang Ambawang diserbu konsumen.
Sukses besar di Pontianak, pengelola Bipang Ambawang membuka cabang di Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta. Kalau ini tagline-nya bukan sekedar oleh-oleh khas Pontianak, namun diperlebar ”Kuliner khas Kalimantan Barat.”
Baca juga: Tak Cuma Bipang Ambawang, 5 Kuliner Kalimantan Barat yang Wajib Dicoba
Bipang Ambawang menjadi duta Kalimantan Barat. Hasilnya? Ciamik. Setiap hari libur, kedai Bipang Ambawang di PIK mampu menjual lima puluh hingga enam puluh ekor babi panggang.
Kekuatan momentum ini yang harus di eksplorasi dan eksploitasi seluas-luasnya oleh pengelola Hammer dan pemilik merek lokal lainnya. Jokowi ”salah ucap” saja tentang Bipang Ambawang mampu mendongkrak setinggi-tingginya produk bersangkutan. Apalagi Jokowi sudah memakai sweater Hammer dan mengabarkan kepada khalayak melalui media arus utama dan sosial.
Baca juga: Produknya Dipakai Jokowi dan Menteri, Siapa Pemilik Brand Hammer?
Saatnya Hammer dan merek pakaian lokal dipakai tidak saja dipakai oleh generasi saya, namun generasi digital yang hari ini getol mengenakan Pull&Bear dan jenama global lainnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.