Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jokowi, Hammer, dan Pull & Bear

Jika Anda memakai pakaian-pakaian itu dan mengoleksi banyak merek, maka Anda termasuk generasi menengah atau elite pada zamannya. Diri Anda merasa sejajar dengan pesohor-pesohor yang menjadi iklan merek-merek tersebut. Anda yang cewek, cantiknya serasa mirip Alya Rohali, Btari Karlinda, Cut Tari, dan Sophia Latjuba. Jika Anda cowok, kegagahan dan kegantengan Anda tidak kalah dengan Adjie Massaid, Arie Wibowo, Gusti Randa, atau Ryan Hidayat.

Merek-merek pakaian lokal yang menjadi tuan rumah nan berwibawa itu didukung oleh majalah-majalah remaja yang menjadi trend setter pada eranya. Majalah HAI, Gadis, dan Mode menjadi primadona.

Jika generasi 80-90-an ingin berfantasi dengan roman-roman percintaan yang tidak picisan, majalah Aneka Yess dan Anita Cemerlang menjadi "kitab suci"-nya. Pada majalah remaja ini koleksi-koleksi paling mutakhir pakaian merek lokal dipertontonkan.

Betapa cantiknya Sophia Latjuba memakai kaos polo terbaru berlogo palu, atau macho-nya Gusti Randa dengan rambut gondrongnya berkaos krah dengan merek katak berpayung.

Serbuan jenama asing

Zaman bergerak. Idiom kuno berfungsi dengan ketat. Setiap zaman ada orangnya, setiap orang ada zamannya. Dalam bahasa lain, setiap merek ada zamannya, setiap zaman ada mereknya.

Serbuan legiun asing masuk deras ke pasar Indonesia. Legiun asing mengusung jenama (merek) Cotton On, Champion, Giordano, H&M, Mango, Pull&Bear, Stradivarius, Uniqlo, Supreme, hingga Zara. Tak ketinggalan jenama olah raga semakin dalam masuk ceruk pasar fashion seperti Adidas, Diadora, Nike, New Balance, Puma hingga Reebok.

Jenama global memang memiliki segalanya untuk bersaing merebut pasar lokal. Hingar-bingar merek-merek lokal yang memengaruhi gaya hidup berpakaian generasi muda terpinggirkan. Merek-merek global menjadi jawara.

Ada empat penyebab utama. Merek adalah persepsi. Yang dibeli konsumen adalah persepsi. Produknya sendiri malah dijadikan pilihan berikut. Degan memakai produk global, si pemakai mempersepsikan dirinya bagian dari komunitas global. Dia bukanlah orang udik, bukan orang lokal, tetapi manusia global dengan segala atributnya. Itulah penyebab pertama.

Penyebab kedua, jenama-jenama global sudah berumur panjang. Matang dari sisi produk. Memiliki jejaring lintas benua untuk urusan rantai pasok. Berpengalaman dalam cara memasarkan, memakai pesohor-pesohor kelas dunia sebagai brand ambassador dan ketrampilan mendesain gerai (toko). Kemewahan dari gabungan semua ini yang tidak dimiliki merek-merek lokal.

Ketiga, harga jual. Benar bahwa jenama-jenama global tersebut berasal dari Amerika, Jepang, dan Eropa. Namun sebagian besar produknya diproduksi di negara-negara berkembang seperti Bangladesh, Vietnam, Pakistan, bahkan Indonesia.

Dari sisi produksi, harga dasar jenama global dapat bersaing dengan produk lokal. Bahkan untuk jenis-jenis tertentu, karena volume produksinya super besar, ongkos produksinya lebih murah dibanding produk lokal.

Tidak mengherankan apabila konsumen masuk ke gerai Uniqlo, H&M, atau Pull&Bear harga mereka bisa lebih murah dibanding Hammer, CF, atau Triset.

Keempat, perkakas komunikasi dan informasi yang dapat diakses hingga ke pelosok. Era 80-90-an penetrasi pakaian merek lokal tak lebih di kota-kota atau paling jauh kota kabupaten. Di samping informasi belum masif sampai pelosok, juga toko-toko yang menjual produk tersebut relatif berada di kota besar (menengah).

Berbeda dengan hari ini dimana informasi bisa diakses siapa saja dan dari mana saja. Demokrasi informasi ditambah kemudahan untuk mendapatkan produk (online atau titip beli) menjadikan semua orang dapat memiliki jenama global.

Mirip dengan generasi 80-90-an saat dia memakai, katakanlah Triset atau Tira, dia menjadi bagian kaum menengah-elite, maka generasi sekarang yang dipelosok jika berkaos Cotton On dan bercelana Giordano, ia merasa menjadi bagian komunitas global.

Mengapa jenama lokal masih bertahan

Pertanyaannya, mengapa merek-merek lokal yang sudah berusia puluhan tahun tersebut sampai hari ini tetap bisa bertahan dari serbuan merek global?

Ada dua alasan. Pertama, nostalgia. Presiden Jokowi dan para menteri ketika berjalan-jalan di sebuah mal di Pekanbaru dan masuk ke gerai Hammer dan bersama-sama membeli produk Hammer kemudian dipakai, unsur nostalgianya begitu kentara.

Benar bahwa Jokowi dan Erick Thohir -salah satu menteri yang menyertai Jokowi- getol mempopulerkan produk-produk lokal. Dalam setiap kunjungan ke daerah, bisa dipastikan Jokowi akan membeli dan memakai produk lokal daerah bersangkutan.

Namun untuk kasus Hammer, bau menyengat nostalgia menyertai. Jokowi pada zamannya mampu membeli merek-merek tersebut. Hari ini, Jokowi dan generasi menengah 80-90-an bernostalgia kembali pada masa mudanya nan ceria.

Kedua, "balas dendam". Ini berlaku untuk orang-orang seperti saya yang pada zaman itu tidak mampu membeli kaos H&R dan celana Watchout. Kami yang pada waktu itu pengikut aliran kebatinan -memakai merek kelas menengah sekedar dalam batin- hari ini mampu membeli.

Kebetulan pula merek-merek tersebut masih eksis. Hari ini kami balas dendam membeli fashion merek lokal tersebut.

Saya belum punya data hari ini siapa pemakai merek-merek lokal yang berjaya di era 80-90-an. Namun cobalah amati orang-orang disekitar Anda. Para pemakai merek-merek lokal ini mayoritas berumur di atas 40 tahun. Bahkan banyak yang sudah rambutnya putih dan dahinya berkerut, mirip calon Presiden Indonesia 2024 seperti dikatakan Jokowi.

Sementara fashion dengan merek-merek global mayoritas dipakai generasi masa kini.

Bagaimana caranya agar pakaian bermerek lokal ini menjadi tuan rumah kembali? Mengoptimalkan momentum, jawabannya. Kebetulan pula Jokowi dan Erick Thohir memiliki hobi mengampanyekan produk lokal.

Menarik belajar dari kasus Bipang Ambawang. Alkisah, Jokowi ”tidak sadar” mengeja Bipang Ambawang sebagai salah satu oleh-oleh lokal.

Di Pontianak, kedai Bipang Ambawang tak lebih dari kedai kuliner yang hanya didatangi satu-dua konsumen. Di sinilah kejelian pengelola Bipang Ambawang memanfaatkan momentum.

Oleh-oleh khas Pontianak diamplifikasi gede-gedean oleh pengelola. Bahkan warganet ikut segendang-sepenarian dengan pengelola Bipang Ambawang. Dalam waktu sekejap, kedai Bipang Ambawang diserbu konsumen.

Sukses besar di Pontianak, pengelola Bipang Ambawang membuka cabang di Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta. Kalau ini tagline-nya bukan sekedar oleh-oleh khas Pontianak, namun diperlebar ”Kuliner khas Kalimantan Barat.”

Bipang Ambawang menjadi duta Kalimantan Barat. Hasilnya? Ciamik. Setiap hari libur, kedai Bipang Ambawang di PIK mampu menjual lima puluh hingga enam puluh ekor babi panggang.

Kekuatan momentum ini yang harus di eksplorasi dan eksploitasi seluas-luasnya oleh pengelola Hammer dan pemilik merek lokal lainnya. Jokowi ”salah ucap” saja tentang Bipang Ambawang mampu mendongkrak setinggi-tingginya produk bersangkutan. Apalagi Jokowi sudah memakai sweater Hammer dan mengabarkan kepada khalayak melalui media arus utama dan sosial.

Saatnya Hammer dan merek pakaian lokal dipakai tidak saja dipakai oleh generasi saya, namun generasi digital yang hari ini getol mengenakan Pull&Bear dan jenama global lainnya. 

https://www.kompas.com/tren/read/2023/01/07/112422865/jokowi-hammer-dan-pull-bear

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke