"Intinya selalu mengikuti informasi tentang diri idolanya. Lebih dari itu, banyak juga yang menunjukkan kekaguman pada tokoh idola dengan menunjukkan perilaku terobsesi," ujar Ratna kepada Kompas.com, Jumat (20/5/2022).
Baca juga: Viral Safa Space di Twitter, Kenapa Fans Kpop Militan Membela Idolanya?
Lebih lanjut Ratna menerangkan, ketika seseorang memiliki idola, ia akan memasukkan nilai-nilai atau hal yang melekat dalam diri idola ke dalam dirinya.
"Diasumsikan idola dengan segala perilaku dan atributnya bersifat positif. Ketika hal positif diintroyeksikan atau dimasukkan ke dalam dirinya, maka otomatis akan meningkatkan penilaian positif terhadap diri sendiri," jelas dia.
Pengakuan dari orang lain juga dapat diperoleh ketika orang lain menunjukkan kekaguman atas perilaku mengidola yang ditunjukkannya.
"Terlebih lagi ketika pengakuan ini berasal dari sang idola sendiri. Pujian akan diberikan oleh orang lain, terkait seberapa besar usahanya untuk menunjukkan kekaguman pada sang idola," tutur psikolog di RS Rajawali Citra, Bantul, DIY ini.
Baca juga: Kim Seon Ho, Kasus Gaslighting, dan Batasan Dukungan untuk Idola...
Sebaliknya, jika perilaku dan atribut negatif, perilaku mengarah kepada hal negatif juga akan menjadi pola perilaku "membanggakan" bagi penggemar.
"Belum lagi dengan sesuatu yang menggebu-nggebu yang mereka rasakan, yang justru menjadi sebuah euforia atau kesenangan yang sebetulnya merupakan pelarian dari masalah mereka," kata Ratna.
Ratna mencontohkan, seperti menonton konser atau mengikuti kehidupan idola yang justru merugikan mereka secara finansial.
"Ini bisa merusak jati diri seseorang. Fans seolah disibukkan dengan sesuatu yang dikendalikan oleh ego, mengikuti kemauan ego agar dianggap sebagai fans setia," tutur dia.
Hal inilah yang menurut Ratna mengkhawatirkan. Ditambah, ego penggemar yang kadang merasa tidak terima saat idolanya dikomentari orang lain, di luar persepsi penggemar.
Membalas komentar yang dianggap tidak sesuai atau menjatuhkan idola dengan komentar "buruk", menurut Ratna bukan tindakan yang bijak.
Justru, bisa semakin mengacaukan keadaan. Pasalnya, balasan komentar penggemar juga bisa ditanggapi miring oleh orang lain.
Pesan Ratna, jangan sampai hanya karena tulisan di media sosial yang berbau idola, membuat kesehatan mental menjadi terganggu, tidak merasa tenang, diteror, bahkan diperkarakan ke pengadilan.
Baca juga: 5 Tips Menjaga Kesehatan Mental Menurut Psikolog
Terkait fenomena ini, peran orangtua dan lingkungan amat dibutuhkan untuk mengawasi perilaku penggemar terutama di usia remaja.
"Orang tua di antaranya dapat berperan untuk membimbing anak agar aksi fanatisme tersebut bisa lebih bermanfaat dengan mengambil sudut pandang kerja keras dan bagaimana usaha kreatif sang idola," ujar Ratna.
Dengan demikian, idola akan menjadi inspirasi yang mendorong semangat remaja dalam meraih impiannya.
"Jadi, apabila Anda memiliki idola, sebaiknya ditinjau kembali bagaimana bentuk perilaku yang muncul dalam mengidolakan. Apakah hanya biasa saja ataukah sampai berlebihan, sehingga menjadi fanatic atau maniac fans? Cek diri kita yuk," pesan Ratna.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.