Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Cegah dan Kendali Ledakan Penduduk

Kompas.com - 11/03/2022, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HARI-HARI awal abad 21, kita saksikan kian rapuh daya-sangga ekosistem untuk kehidupan kita di Bumi; eskalasi perubahan iklim dan pemanasan global terus melanda 195 negara, termasuk Indonesia (IPCC, 2021:5; Montt et al., 2018:1; National Academy of Sciences, 2012:28).

Kita sekilas saksikan ‘kiamat-kiamat kecil’. Data Global Footprint Network (GFN, 2021:731) menyebutkan, hingga tahun 2017, sekitar 72 persen penduduk dunia, kekurangan pasokan sumber-sumber daya alam (SDA). Artinya, sekitar 5,4 miliar penduduk dunia hidup dengan kelangkaan dan kurang pasokan SDA. GFN (2021) menyebutkan, sampah penduduk Bumi mencapai 1,7 kali lebih besar dari kemampuan regenerasi dan daur ulang Bumi.

Baca juga: Prabowo: Kerusakan Lingkungan karena Ledakan Penduduk

Para pemimpin awal abad ini ibarat mengidap titanic syndrom. Pada 15 April 1912, kapal super-mewah Titanic asal Inggris membentur gunung es dan tenggelam di Samudera Atlantik Utara. Sekitar 1.514 orang tewas. Nakoda dan kru kapal itu gagal membaca peringatan dini tentang lokasi, bentuk, dan ukuran gunung es di sana. Akhir-akhir ini, dunia pesta pora keruk fosil (minyak, batu-bara, gas, dan lain-lain) dari perut Bumi. Mirip pesta-tragedi Titanic.

Sejak 1970-an, ledakan penduduk menekan daya-sangga ekosistem Bumi kita (Baus, 2017:vi, 47-48). Akibatnya, penipisan SDA dan kehancuran habitat alam dipicu oleh kerakusan-keruk sumber-sumber alam tanpa upaya konservasi (Lampert, 2019:2).

Menurut International Resource Panel (2019: 35,68), misalnya, proses dan ekstraksi SDA melepas separuh total emisi gas rumah kaca dan memicu kepunahan 90 persen keragaman hayati dan stres air di seluruh dunia awal abad 21.

Tabel ledakan pertumbuhan pendudukan dunia sejak awal abad 20 M. (Sumber: Diolah dari laporan PBB tahun 2015-2020). - Tabel ledakan pertumbuhan pendudukan dunia sejak awal abad 20 M. (Sumber: Diolah dari laporan PBB tahun 2015-2020).

Di zaman dulu, setelah lebih dari dua juta tahun, penduduk di Bumi meraih jumlah satu miliar jiwa. Namun, hanya 60 tahun terakhir, penduduk lonjak hingga lebih dari lima miliar jiwa (lihat tabel di atas). Tanpa kendali.

Department of Economics and Social Affairs pada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 2019, merilis perkiraan tahun 2050, penduduk Bumi mencapai 9-10 miliar jiwa, jika tanpa upaya dan kebijakan kendali ledakan penduduk pada 195 negara.

Menanti pemimpin hikmat bijaksana

Kini kita membutuhkan lahirnya para pemimpin hikmat-bijaksana guna meredam ledakan penduduk dan memulihkan ekosistem negara-negara.

Kira-kira 200 tahun terakhir, kita belajar berdemokrasi. Selama era demokrasi ini pula terjadi lonjakan kira-kira tujuh miliar jiwa penduduk Bumi. Tanpa hikmat-bijaksana, demokrasi gagal merawat habitat alam.

Kepemimpinan hikmat-bijaksana harus dapat mencegah kehancuran habitat alam. Jejak pemimpin korup selalu mudah terbaca dari kehancuran habitat alam dan kemerosotan ekosistem tiap negara; minim program keluarga berencana (KB) guna redam dan kendalikan ledakan penduduk.

Baca juga: Populasi Dunia Diprediksi Akan Menyusut Setelah 50 Tahun

 

Para pemimpin mungkin terbuai kampanye bonus demografi, yakni lahir dan bangkitnya angkatan kerja baru (produktif), tanpa kepekaan terhadap krisis dan risiko. Padahal, survival kehidupan manusia, tata-sosial-ekonomi sehat-lestari, ketenagakerjaan, dan masa depan peradaban, sangat bergantung pada daya-dukung lingkungan hidup.

Mungkin ada perkiraan optimis tentang pertumbuhan penduduk di Bumi. Misalnya, penduduk di Bumi bakal mencapai 9,7 miliar jiwa tahun 2064 dan 8,8 miliar tahun 2100.

Penduduk Indonesia kira-kira 229 juta tahun 2100, atau berkurang dari sekitar 258 juta tahun 2017. Begitu analisa peneliti pada Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) pada School of Medicine, University of Washington, Amerika Serikat.

Tim peneliti Professor Stein Emil Vollset et al. (2020) itu mengkaji data Global Burden of Disease Study 2017 pada 183 negara dari total 195 negara di dunia (lihat tabel di bawah). Artinya, beban daya sangga ekosistem tetap besar, hingga akhir abad ini atau selama abad 21, jika para pemimpin berbagai negara tidak kendalikan jumlah penduduk.

Tabel perkiraan tren pertumbuhan penduduk 10 negara
teratas tahun 2017-2100. (Sumber: Vollset et al, 2020)- Tabel perkiraan tren pertumbuhan penduduk 10 negara teratas tahun 2017-2100. (Sumber: Vollset et al, 2020)
Rakyat dan pemerintah Indonesia perlu cepat membuat program-program kendali ledakan penduduk. Alinea empat Pembukaan UUD 1945 menugaskan pemerintah RI melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah-darah. Maka kehancuran habitat alam dan kepunahan keragaman-hayati segera dicegah dan diatasi.

Saat ini, rakyat kita hidup di “lingkungan-bencana”. Langkah darurat bangun sistem bio- security (air sehat, hutan sehatlestari, dan tanah-sehat) harus menjadi prioritas stategi- kebijakan.

Indonesia, menurut Measey (2010:31), menempati ranking tiga terbesar melepas emisi gas rumah-kaca dan sangat berisiko akibat perubahan iklim yang berdampak serius terhadap lapangan kerja, penduduk, kesehatan-keselamatan rakyat, dan ekosistem atau lingkungan- kehidupan negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com