Menilik dari beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi, pelaku secara ekonomi lebih mampu daripada korban.
Kasus tersebut pun selesai dengan pemberian sejumlah uang tanpa adanya proses hukum.
Eddy menuturkan, untuk mempermudah penegak hukum memproses kasus dugaan kekerasan seksual, RUU TPKS mengatur barang bukti dapat dijadikan alat bukti.
“Barang bukti masuk menjadi alat bukti. Kalau dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), barang bukti dan alat bukti itu dua hal berbeda,” jelasnya.
Barang bukti dalam KUHAP dijelaskan pada Pasal 39, sementara alat bukti diatur dalam Pasal 284.
“Tapi di dalam RUU ini, alat bukti itu adalah antara lain barang bukti,” ujar Eddy.
Restitusi adalah ganti kerugian korban yang dibebankan kepada pelaku.
Eddy menyatakan, dalam RUU TPKS restitusi wajib dibebankan kepada pelaku kekerasan seksual. Sementara untuk besarannya, akan diputuskan oleh majelis hakim yang menangani perkara.
Jika pelaku tidak memiliki cukup uang, lanjut Eddy, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk membayar restitusi tersebut.
Baca juga: Dalam RUU TPKS, Penyidik Tak Boleh Tolak Perkara Kekerasan Seksual
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) adalah rancangan awal yang tak kunjung disahkan meski masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.
Sebagai gantinya, RUU PKS diganti dengan RUU TPKS yang hari ini mulai dibahas oleh pemerintah dan DPR.
Ada beberapa perbedaan RUU TPKS dan RUU PKS, sebagai berikut.
Pertama, perbedaan definisi kekerasan seksual dalam kedua RUU tersebut.
Pasal 1 angka 1 RUU PKS mendefinisikan kekerasan seksual jauh lebih lengkap daripada definisi menurut RUU TPKS.