KOMPAS.com - Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah salah satu tokoh penting dalam perjalanan pemerintahan Republik Indonesia sejak revolusi.
Sejumlah jabatan menteri pun menjadi hal biasa baginya sejak Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947) hingga Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 (Maret 1966).
Hamengku Buwono IX kemudian menjadi Wapres RI yang kedua, setelah Mohammad Hatta, untuk mendampingi Presiden Soeharto.
Baca juga: Ramalan Sultan Hamengku Buwono I tentang Kapan Negara Akan Sejahtera
Ia menjadi wapres pertama di antara 5 wapres lain yang mendampingi Soeharto menjalani 32 tahun masa kepemimpinannya di era Orde Baru.
Mengutip laman Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hamengku Buwono IX diangkat menjadi wapres pada 25 Maret 1973 dan rampung menjabat pada 23 Maret 5 tahun setelahnya.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX, PNS pertama di Indonesia.
Diangkat oleh Alm. A.E Manihuruk sbg PNS pertama di Indonesia. A.E Manihuruk, Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara saat itu statusnya bukan PNS, krn Kepala Badan kebanyakan berasal dari Pejuang, Tentara, Politikus pic.twitter.com/LWqoCqQnd3
— Good News From Indonesia (@GNFI) December 8, 2019
Sebelum menduduki posisi wakil presiden, Sultan yang memiliki nama lahir GRM Dorojatun itu sudah beberapa kali menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan. Berikut di antaranya:
Baca juga: Istri Terakhir Sultan Hamengku Buwono IX Wafat
GRM Dorojatun lahir di Ngasem, Yogyakarta, pada 12 April 1912 dan merupakan anak ke 9 Sri Sultan Hamengku Buwono XIII dari istri kelimanya, yakni Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.
Dikutip dari dari laman Kraton Jogja, semenjak usia 4 tahun, HB IX sudah dititipkan di rumah pasangan Belanda, keluarga Mulder yang merupakan kepala dari Neutrale Hollands Javanesche Jongen School (NHJJS).
Keluarga itu diberi pesan oleh HB VIII agar mendidik putranya seperti rakyat biasa, tidak ada keistimewaan hanya karena dia putra raja.
HB IX harus hidup mandiri tanpa dampingan pengasuh.
Di keluarga ini, HB IX dikenal sebagai Henkie, sebuah nama yang jauh dari kesan kebangsawanan.
Baca juga: Pertemuan Jatisari, Awal Mula Perbedaan Budaya Surakarta dan Yogyakarta
HB IX menjalani masa taman kanak-kanak (Frobel School) dan pendidikan dasarnya (Eerste Europe Lagere School B dan Neutrale Europese Lagere School) di Yogyakarta, setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke Hogere Burgerschool (HBS) di Semarang dan Bandung.
Kemudian, HB IX beserta beberapa saudaranya dikirim oleh sang ayah untuk menuntut ilmu di Rijkuniversitet di Leiden, Belanda meski belum menyelesaikan pendidikan di HBS.
Di sana, HB IX mendalami ilmu hukum tata negara dan berkenalan dengan Putri Juliana yang kemudian menjadi Ratu Belanda.
Sultan Hamengku Buwono IX menerima kunjungan Ratu Belanda Juliana, 31 Agustus 1971.
Potret Joost Evers. pic.twitter.com/VoOzvdePM1
— Potret Lawas (@potretlawas) May 28, 2018
Pada 1939, ia dipanggil pulang oleh ayahnya karena Perang Dunia II terlihat tak lama lagi akan meletus.
Ketika itu, HB IX belum selesai dalam menjalani masa pendidikannya.
Setibanya di Tanah Air, HB IX diberi Keris Kyai Joko Piturun yang menjadi simbol bahwa penerima menjadi putra mahkota yang akan meneruskan tahta.
Selang beberapa hari kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat.
Hari Senin Pon, 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra Narendra Mataram.
Kemudian dilanjutkan penobatan beliau sebagai Raja dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX.
Lihat postingan ini di Instagram
Saat dilantik, HB IX berpidato dan menyampaikan satu pernyataan yang mungkin masih diingat oleh masyarakat hingga kini.
"Saya memang berpendidikan barat, tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa," kata dia.
Baca juga: Ketika HB IX Berkisah tentang Penampakan Sultan Agung
Pada 2 Oktober 1988 malam, ketika HB IX tengah berkunjung ke Amerika Serikat ia meninggal di George Washington University Medical Center.
Jenazahnya pun langsung diterbangkan ke Indonesia untuk dimakamkan di Kompleks Pemaanan Raja-Raja di Imogiri, Bantul.
Seakan turut berduka, tepat di hari kematiannya, diceritakan bahwa pohon beringin Kyai Wijayandaru yang ada di Alun-Alun Utara Yogyakarta roboh.
Untuk menghargai segala jasa dan perjuangannya bagi Bangsa Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 8 Juni 2003 oleh Presiden RI ketika itu, Megawati Soekarnoputri.
Baca juga: Cerita di Balik NIP PNS 010000001 Mililk Sri Sultan HB IX, Totalitas untuk Mengabdi Nusa dan Bangsa
Kak Sultan Hamengku Buwono IX berseragam pramuka, mungkin tahun 1970-an. pic.twitter.com/TwPeJFHHvw
— Potret Lawas (@potretlawas) April 10, 2018
Beberapa hal yang ikonik sebagai peninggalan Hamengku Buwono IX dan masih bisa dirasakan manfaatnya hingga saat ini adalah adanya Selokan Mataram dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta
Selokan Mataram, adalah saluran air atau irigasi yang menghubungkan Sungai Progo dan Kali Opak hingga kini memberi pengairan bagi pertanian warga Yogyakarta.
Dulunya proyek ini digunakan untuk menyelamatkan penduduk Yogyakarta dari program kerja paksa Jepang yang dikenal dengan nama Romusha.
Sementara UGM, salah satu universitas negeri yang kini menjadi salah satu universitas terbaik di Indonesia, juga tak lepas dari campur tangan HB IX.
Baca juga: Kenapa Sultan HB IX Bisa Satukan Warga Jogja Dukung Kemerdekaan?
HB IX lah orang yang mendukung penuh dibangunnya UGM. Awalnya lembaga pendidikan itu hanya menempati lokasi Pagelaran dan bangunan-bangunan lain di dalam dan sekitar kraton untuk proses belajar-mengajar.
Sat ini UGM telah berdiri di sebidang tanah yang terletak di Bulak Sumur, Sleman, yang disediakan oleh Sultan untuk dibangun gedung utama, juga Balairung, yang ketika itu dirancang oleh Presiden Pertama RI, Soekarno.