KOMPAS.com - Hampir 6 bulan sudah virus corona menyebar di Indonesia, sejak pertama kali dikonfirmasi pada awal Maret 2020.
Berdasarkan data terakhir Satuan Tugas Penanganan Covid-19, hingga Minggu (30/8/2020), ada 172.053 kasus Covid-19 di seluruh Indonesia.
Penambahan kasus baru pada hari yang sama juga dilaporkan cukup tinggi, 2.858 kasus.
Bahkan, sehari sebelumnya temuan kasus baru infeksi virus corona di Indonesia melebihi angka 3.000 kasus.
Meski pandemi belum menunjukkan tren menurun, masih banyak ditemukan warga yang tak memenuhi anjuran protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Berbagai tempat publik mulai padat. Banyak yang tak mengenakan masker dan tak menjaga jarak aman.
Sejumlah daerah pun menerapkan aturan dengan hukuman dan sanksi denda bagi yang melanggar protokol kesehatan.
Baca juga: Video Viral Acara Dangdutan di Pengasinan Dipenuhi Warga, Ini Tanggapan Pemkot Depok
Efektifkah penerapan hukuman untuk "memaksa" warga patuh pada tindakan pencegan Covid-19?
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Drajat Tri Kartiko, mengatakan, ada skema yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan dalam situasi pandemi seperti saat ini.
"Tentu kalau government control (berupa tindakan) ditangkap, didenda, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Ya menyelesaikan, tapi tidak keseluruhan," kata Drajat, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (30/8/2020).
Menurut dia, salah satu cara yang dipandang efektif untuk membuat masyarakat mematuhi aturan yang tunggal adalah dengan melibatkan peran para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau tokoh-tokoh lain yang menjadi panutan masyarakat (reference actor).
"Yang diperlukan adalah social control, keterlibatan masyarakat untuk mengontrol anggotanya. Kalau ini bisa dilakukan, baik melalui tokoh masyarakat, masjid, dan sebagainya, secara terus-menerus (membuat masyarakat taat aturan) itu bisa," sebut Drajat.
Peran tokoh-tokoh masyarakat diperlukan untuk mengakomodasi heterogenitas yang ada dalam masyarakat.
Baca juga: New Normal Bukan Berarti Menantang Virus, tetapi Patuh Protokol Kesehatan
Drajat menjelaskan, sejak awal virus corona merebak di Tanah Air, tanggapan masyarakat atas konstruksi Covid-19 yang dibangun pemerintah sudah beragam.
Tidak semua takut, tidak semua percaya, dan tidak semua mau mengikuti apa yang disampaikan pemerintah.
Hal itu sangat tergantung dari masing-masing individu yang datang dari kelompok berbeda-beda.
Namun, jika kondisi serta aturan kebaikan ini disampaikan oleh pihak yang dipercaya dan dijadikan rujukan oleh masyarakat, Drajat yakin penerapannya akan lebih optimal.
"Makanya saya mengatakan gerakan untuk penyadaran Covid-19 ini jangan sekedar dilakukan oleh pemerintah, tapi oleh tokoh-tokoh masyarakatnya. Pengumuman (perkembangan pandemi) itu jangan oleh satu figur orang, tapi banyak figur orang yang ditampilkan di sana," kata dia.
Baca juga: Berdamai dengan Virus Corona, Kita Juga Butuh Keteladanan...
Lebih dari itu, menjadikannya sebagai adab atau standar sopan santun dalam pergaulan masyarakat.
"Cara pengendaliannya kalau di sosiologi itu namanya interealisasi. Bagaimana memakai masker, mencuci tangan, tidak berkumpul dengan banyak orang dalam jarak yang berdekatan, itu menjadi kultur, adat, sopan santun," kata Drajat.
Cara ini dinilai bisa lebih efektif dan langgeng diterapkan jika dibandingkan dengan penerapan denda atau sanksi sejenis yang hanya akan berjalan dalam rentang waktu pendek.
Nilai-nilai ini harus ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat dengan tetap melibatkan tokoh-tokoh referensi yang dipercaya oleh anggota masyarakat.
"Itu betul-betul ditularkan oleh tokoh masyarakat, adat, agama, pendidikan, itu ditularkan sebagai sebuah adab, kultur. Tindakan yang baik dan benar bagi orang lain, sopan santun. Sopan santun baru seperti ini yang harus dipromote atau dikembangkan," ujar Drajat.
Baca juga: Pemerintah Diminta Bikin Kebijakan untuk Tingkatkan Kepatuhan Protokol Kesehatan
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sejauh ini dinilai kerap menimbulkan kecemburuan bagi sebagian kelompok masyarakat.
Misalnya, pemberian ijin sekolah berdasarkan zona merah, kuning, dan hijau. Demikian pula perbedaan izin bekerja di luar rumah atau perkantoran.
"Misalnya sekolah ini boleh masuk, sekolah ini tidak boleh masuk. Bagi orang-orang yang sekolah tidak boleh masuk, kan melihat saudara-saudara, teman-temannya di sana masuk, kan jadi iri. Jadi ada kondisi berbeda," ujar Drajat.
Selain itu, pemberian bantuan ekonomi bagi pihak-pihak tertentu, dinilai Drajat menimbulkan kecemburuan mereka yang tidak menerimanya.
"Perbedaan-perbedaan itu yang kemudian menghasilkan kalau di sosiologi 'pengabaian'. Bukan menerima atau menyerap warning pemerintah tentang bahaya kesehatan itu, tapi itu diabaikan sebagai hal yang tidak penting kemudian dia mulai hidup yang normal itu," kata dia.
Mengabaikan imbauan dan kembali melakoni rutnitas normal disebutnya sebagai upaya melepaskan diri dari tekanan kehidupan yang selama pandemi dirasakan cukup berat oleh sebagian besar masyarakat.
"Pemerintah juga harus lebih konsisten, seragam, dalam membuat aturan agar tidak terjadi kecemburuan," ujar Drajat.
Baca juga: Acara Pernikahan Tak Mengindahkan Protokol Kesehatan, Polisi Geram dan Minta Mempelai Pria Push Up
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.