KOMPAS.com - Setelah kesuksesan awalnya dalam mengendalikan virus, Jepang kini menghadapi babak berikutnya dari pandemi virus corona.
Sebelumnya, negara ini memperoleh perhatian dunia setelah berhasil mengontrol penyebaran gelombang pertama Covid-19 dengan cara yang disebutnya sebagai "Model Jepang".
Adapun model yang dimaksud adalah melakukan pengujian terbatas, tidak ada penguncian (lockdown), ataupun kebijakan lain yang menutup kegiatan bisnis.
Namun, saat ini, Jepang kembali menghadapi ancaman dari pandemi Covid-19 dengan kasus yang mencapai rekor nasional hari demi hari.
Baca juga: Mengenal Hokkaido, Provinsi Bersalju yang Menjadi Sarang Virus Corona di Jepang
Mengutip Bloomberg, Sabtu (1/8/2020), awalnya infeksi terkonsentrasi di ibu kota, Kemudian, menyebar ke wilayah perkotaan lainnnya.
Sedangkan wilayah-wilayah yang tidak mencatatkan kasus selama berbulan-bulan kini menjadi hotspot baru.
Adapun demografi pasien juga semakin luas hingga orang-orang lanjut usia. Kondisi ini menjadi kekhawatiran tersendiri karena Jepang dikenal sebagai tempat tinggal populasi tertua di dunia.
Baca juga: Vaksin Corona dari Oxford Dinilai Aman, Dijanjikan Siap pada September
Para ahli mengatakan bahwa fokus Jepang pada sektor ekonomi kemungkinan menjadi penyebab kasus-kasus baru Covid-19 yang kembali dilaporkan.
Kondisi yang dialami Jepang pun berisiko menjadi peringatan bagi negara-negara lain.
Saat Jepang mengumumkan status daruratnya untuk mengontrol gelombang pertama virus corona, mereka tidak memaksa orang-orang untuk tinggal di rumah dan menutup kegiatan bisnisnya.
Baca juga: Simak, Ini 10 Cara Pencegahan agar Terhindar dari Virus Corona
Status ini berakhir pada akhir Mei. Pihak berwenang dengan cepat menjalankan pembukaan penuh sebagai upaya memulihkan kondisi ekonomi.
Pada Juni 2020, restoran dan bar telah buka secara penuh. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan sejumlah negara lain seperti Singapura.
"Ini adalah hasil dari pemrioritasan ekonomi oleh pemerintah dengan mengizinkan orang-orang untuk bergerak kembali saat pengontrolan infeksi harusnya dilakukan," kata Profesor Penyakit Menular di Showa University's School of Medicine, Yoshihito Niki.
Baca juga: Mengintip Masker Pintar Buatan Jepang yang Mendukung Panggilan Telepon
Sejumlah negara di Asia-Pasifik disebut tengah mengalami gelombang kedua pandemi corona, seperti yang terjadi di Hong Kong, Australia, dan Vietnam.
Menurut para ahli kesehatan publik, ada sejumlah faktor yang menyebabkan meningkatnya kasus-kasus baru di Jepang.
Status darurat disebut dicabut terlalu dini sebelum infeksi telah melambat sepenuhnya.
"Pemerintah seharusnya memiliki strategi yang lebih tepat untuk menahan penularan secepat mungkin," kata Profesor di King's College London, Kenji Shibuya.
Baca juga: Saat Warga Hong Kong Alami Kelelahan Pandemi
Kenji menyebut bahwa Hong Kong dan Australia merupakan contoh negara yang menunjukkan upaya cepat dalam mengontrol penyebaran virus melalui pemeriksaan yang luas dan social distancing yang agresif, termasuk memberlakukan lockdown.
"Jepang membuat kondisi memburuk hanya dengan menunggu dan melihat," kata dia.
Para ahli mendorong "gaya hidup baru" dan berbicara tentang era di mana orang akan tinggal bersama virus.
Baca juga: Saat Australia Mencoba Alternatif Pelacakan Virus Corona Melalui Selokan...
Namun, pesan yang disampaikan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan pihak lokal terlihat tidak selaras.
Saat Shigeru Omi, ketua panel ahli penasihat pemerintah di Jepang menyarankan untuk menunda kampanye pariwisata domestik, ia diabaikan.
Kampanye "Go To Travel" berupah menjadi mimpi buruk, masyarakat desa di Jepang menjadi marah dengan potensi infeksi yang mungkin dibawa oleh para pendatang dari kota yang berwisata.
Baca juga: Menilik Fenomena Masyarakat yang Nekat Ngemal dan Abaikan Protokol Kesehatan...
Dampak yang disebabkan oleh kampanye pariwisata dalam menyebarkan virus mungkin belum akan diketahui dalam beberapa minggu.
Saat ini, para ahli lebih mengkhawatirkan datangnya periode libur Obon pada pertengahan Agustus mendatang.
Biasanya, banyak anak muda di Jepang yang kembali di rumah untuk menghormati mereka yang telah meninggal dan menghabiskan waktu bersama saudara-saudara yang lebih tua.
Baca juga: Berikut 5 Gejala Virus Corona Ringan yang Tak Boleh Diabaikan
Dalam situasi yang mulai mengkhawatirkan, pihak berwenang mulai bergerak.
Osaka telah meminta masyarakat untuk tidak makan dengan lima orang atau lebih. Kemudian, di Tokyo, restoran, bar, dan tempat karaoke diminta untuk memperpendek jam operasional.
"Pemerintah pusat belum menunjukkan pedoman dan strategi yang jelas tentang apa yang harus dilakukan, dan mendorong tanggungjawab kepada pemerintah lokal," kata peneliti kesehatan publik di University of Tokyo, Haruka Sakamoto.
Baca juga: Mengenal Kota Sharm el-Sheikh, Bali-nya Mesir