Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Merdeka atau AI?

Dia menulis novel panjang “Genji Monogatari”, yang bercerita tentang kisah percintaan sang tokoh Hikaru Genji. Ini merupakan salah satu novel klasik ternama di Jepang.

Seumpama Instagram sudah ada pada era Edo, maka nama-nama seperti Katsushika Hokusai, Utagawa Hiroshige, Kitagawa Utamaro, mampu menjadi selebgram yang memiliki ribuan follower.

Mereka merupakan artis ukiyo-e, yaitu pelukis di era Edo yang objek lukisannya kebanyakan artis kabuki, pemandangan alam dan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Meminjam istilah Aristoteles, secara filosofis segala sesuatu terdiri dari “forma”, yaitu susunan atau bentuk (luar), dan “materia”, yaitu elemen utama atau bahan.

Misalnya, tanah liat adalah materia bagi batu bata, dan batu bata adalah materia bagi rumah yang terbuat dari batu bata. Batu bata (materia) yang diberi bentuk (forma), bisa menjadi rumah maupun tembok.

Kembali ke tulisan di awal, novel cerita “Genji Monogatari” maupun lukisan ukiyo-e, sebenarnya mirip dengan apa yang kita kenal sekarang sebagai blog dan Instagram.

Orang biasa menulis berbagai macam cerita di blog, layaknya membuat karya novel. "Lukisan sesaat" tentang kegiatan yang dilakukan sehari-hari (minum kopi, makan siang, jalan-jalan dan sebagainya), direkam menggunakan gawai untuk dibagikan di Instagram.

Berdasarkan filosofi Aristoteles, maka secara forma, karya kesusasteraan tidak jauh berbeda dari blog. Begitu juga lukisan ukiyo-e, tidak berbeda jauh dari Instagram.

Akan tetapi, situasinya berbeda jika berbicara tentang materia. Blog dan Instagram sudah tidak lagi bergantung pada kertas, tinta, dan cat warna.

Blog dan Instagram adalah informasi, di mana jika kita selisik lebih detail lagi, merupakan representasi dari gabungan digit biner, yaitu 0 dan 1.

Sehingga dapat dikatakan bahwa secara materia, blog memerdekakan karya seni sastra, dan Instagram memerdekakan karya seni lukis, masing-masing dari kertas, tinta dan cat warna.

Sebelum menulis lebih jauh, saya ingin menegaskan bahwa penggunaan istilah “merdeka” di sini hendaknya dimaknai sebagai tidak terikat atau tidak bergantung kepada sesuatu, seperti tertulis pada KBBI versi daring.

Teknologi memang kerap berperan sebagai katalis untuk kemerdekaan. Contohnya, ketika Gutenberg menggunakan mesin cetak untuk kepentingan komersial pada 1450, maka orang menjadi merdeka untuk membaca kitab suci.

Kita tahu bahwa pada era sebelum ditemukannya mesin cetak modern, kitab suci jumlahnya sangat terbatas sehingga hanya diedarkan untuk kalangan tertentu saja.

Revolusi industri pada sekitar 1760 juga memerdekakan manusia dari beban kerja fisik. Otomatisasi sebagai buah revolusi industri, selain mempermudah pekerjaan sehingga lebih sedikit manusia dibutuhkan untuk hasil yang lebih besar, pencapaian pun lebih maksimal karena mesin tentunya tidak mengenal lelah, bukan?

Aplikasi menggunakan AI (Artificial Intelligence) termasuk ChatGPT yang akhir-akhir ini menjadi tren, sebenarnya juga memerdekakan manusia.

Misalnya manusia tidak perlu lagi berkutat menghabiskan tenaga dan pikiran, untuk pekerjaan monoton, namun membutuhkan ketelitian tinggi.

Sekali lagi, teknologi memang memudahkan manusia melakukan aktivitas hidupnya. Teknologi membuat manusia merdeka dari banyak hal.

Contoh kecilnya, dalam hidup sehari-hari saat ini, orang tidak perlu bersusah payah pergi ke luar rumah untuk berbelanja di toko.

Bahkan tanpa mencari pun, dengan teknologi AI yang menganalisa data-data interaksi pengguna saat menggunakan gawai/komputer, informasi tentang kemungkinan kebutuhan barang dan tempat belanja virtual akan muncul secara otomotis misalnya dalam wujud iklan.

Akan tetapi, teknologi tidak selalu memberikan efek positif seperti membuat manusia menjadi merdeka. Ironisnya, terkadang teknologi juga menyebabkan efek negatif.

Misalnya, otak manusia yang tidak mengalami perubahan signifikan sejak zaman nenek moyang kita yang hidup nomad dan memenuhi kebutuhan pokok dengan cara berburu, sekarang dipaksa untuk memroses berbagai macam informasi yang jumlahnya amat banyak.

Berdasarkan situs DataReportal, orang Indonesia menghabiskan waktu sekitar 5 jam sehari menggunakan gawai. Jika merujuk pada undang-undang di mana jam kerja sehari adalah 7 jam, maka 5 jam bukanlah jangka waktu yang sedikit.

Selama bermain gawai dalam rentang waktu itu, tsunami informasi membanjiri otak, sehingga konsentrasi menurun/terganggu. Akibatnya, terkadang kecepatan jari menjadi lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan otak untuk berpikir.

Apalagi pada zaman kiwari informasi merupakan hasil dari teknologi AI, yang umumnya sudah “paham” tentang selera penggunanya.

Ini tentu dapat mengakibatkan ketagihan, dalam arti membuat orang semakin banyak mengonsumsi informasi, meskipun sebagian besar tentang hal remeh-temeh.

Secara umum teknologi informasi, terkhusus jika berbicara berdasarkan tren saat ini yaitu yang berhubungan dengan AI, ternyata mempunyai dua sisi. Ada sisi terang (positif), yaitu memerdekakan manusia, namun juga ada sisi gelapnya (negatif) seperti sudah saya tuliskan.

Di dunia fana ini, segala sesuatu pasti mempunyai dua sisi. Kita juga tahu, di tempat kita hidup sekarang, memang tidak ada hal yang sempurna. Ini juga berlaku untuk teknologi, apa pun jenis dan bentuknya.

Meskipun sekali lagi kalau berbicara melalui sudut pandangan filosofis, bilangan biner yang menjadi dasar teknologi informasi, menurut Leibniz merupakan lambang dari kesempurnaan alam semesta.

Lalu, bagaimana sebaiknya kita bersikap? Apakah mau merdeka? Atau memanfaatkan teknologi AI yang sepertinya membuat orang jadi merdeka, namun kenyataanya bisa jadi sebaliknya?

Saya ingin memberikan alternatif jawaban dari film Netflix terbaru berjudul “Heart of Stone” sebagai penutup tulisan. Film ini bercerita tentang AI tool canggih bernama “Heart”, yang dijalankan menggunakan komputer kuantum.

Gal Gadot yang berperan sebagai Rachel Stone, seorang agen rahasia anggota “Charter”, menjawab pertanyaan aktris India Alia Bhatt, yang berperan sebagai Keya Dhawan.

Stone mengatakan bahwa perhitungan peruntungan “Heart” sebagai AI tool bukanlah segalanya.

Jika “odds” hasil perhitungan “Heart” untuk suatu tugas berbahaya menghalanginya untuk pergi, maka itu berarti panggilan bagi Stone untuk melakukan tugasnya.

AI tools memang mampu “menghitung” prediksi, namun akhirnya hanya manusia yang sanggup menentukan dan melaksanakan tugas dengan baik dan tuntas.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/08/21/094054565/merdeka-atau-ai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke