Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau dikenal sebagai Gubernur Suryo, adalah gubernur pertama Jawa Timur yang diangkat tidak lama setelah Indonesia merdeka.
Dalam kapasitasnya sebagai gubernur Jawa Timur, Gubernur Suryo sempat berunding dengan pihak Sekutu pada akhir Oktober 1945, tetapi tidak mencapai kesepakatan yang mengikat.
Setelah pemimpin pasukan Sekutu, AWS Mallaby tewas, penggantinya Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945.
Ultimatum itu berisi perintah kepada arek-arek Surabaya agar menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan.
Baca juga: 6 Tokoh Pertempuran Surabaya
Apabila tidak dipatuhi, Sekutu mengancam akan menggempur Surabaya dari darat, laut, dan udara.
Selain itu, semua tokoh dan para pemuda di Surabaya harus menyerahkan diri selambat-lambatnya pada 10 November 1945, pukul 06.00 pagi di tempat yang telah ditentukan.
Mendengar ultimatum tersebut, Gubernur Suryo sebagai pimpinan tertinggi di Jawa Timur, mendeklarasikan bahwa Surabaya harus dipertahankan dan tegas menolak tunduk kepada Sekutu.
Pada 9 November 1945 pukul 23.00 WIB, Gubernur Suryo berpidato melalui Radio Surabaya yang terletak di bekas Gedung NIROM di Jalan Embong Malang No. 87, Surabaya.
Lewat pidatonya yang dikenal dengan judul Komando Keramat Soerjo itu, Gubernur Suryo menyerukan kepada arek-arek Suroboyo untuk melawan pasukan Sekutu demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran di Surabaya dipimpin oleh Gubernur Suryo, yang menyatakan akan melawan Sekutu sampai titik darah penghabisan.
Gubernur Suryo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada November 1964 melalui Keppres No. 294 Tahun 1964.
Baca juga: Latar Belakang Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya
HR Muhammad Mangundiprojo bertempur melawan pasukan Sekutu di Surabaya bersama Bung Tomo dan para tokoh yang lain.
Ketika itu, ia baru saja diangkat oleh Jenderal Urip Sumoharjo sebagai pimpinan TKR Divisi Jawa Timur.
HR Muhammad sempat berkeliling Surabaya bersama AWS Mallaby untuk memantau gencatan senjata yang diupayakan.
Namun, ketika berusaha menengahi konflik antara pemuda Surabaya dan tentara Inggris di sekitar Jembatan Merah, ia justru disandera.