KOMPAS.com - Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi berbasis agama Islam terbesar di Indonesia, yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912, di Yogyakarta.
Sebagai landasan kegiatannya dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam, Muhammadiyah memiliki khittah perjuangan.
Melansir suaramuhammadiyah.id, istilah khittah berasal dari bahasa Arab, khaththa, yang artinya menulis dan merencanakan.
Khittah juga bermakna garis atau jalan. Jadi, khittah artinya garis besar atau jalan perjuangan.
Dapat dikatakan, Khittah Muhammadiyah adalah seperangkat rumusan, teori, metode, sistem, strategi, dan taktik perjuangan Muhammadiyah.
Salah satu khittah perjuangan Muhammadiyah yang pernah dirumuskan adalah Khittah Surabaya.
Baca juga: Sejarah Tapak Suci, Perguruan Pencak Silat Muhammadiyah
Perumusan Khittah Surabaya bermula dari penerapan Khittah Ujung Pandang (1971), yang menghadirkan tantangan besar bagi Muhammadiyah.
Pasalnya, poin ketiga dari isi Khittah Ujung Pandang yang berbunyi, "Pemantapan gerakan dakwah secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)", tidak mendapatkan respons yang baik.
Dukungan resmi yang diberikan oleh Muhammadiyah kepada Parmusi menyebabkan konflik internal yang cukup serius di dalam organisasi.
Permasalahan itu mendorong sebagian besar anggota untuk kembali ke Khittah Ponorogo (1969), sebagai dasar perjuangan yang lebih stabil.
Dinamika yang terjadi di dalam Persyarikatan berujung pada pengesahan Khittah Surabaya, yang merupakan penyempurnaan dari Khittah Ponorogo.
Khittah Surabaya dirumuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya pada 1978, di bawah kepemimpinan Kiai Haji Abdur Rozak Fachrudin.
Baca juga: Khittah Ponorogo 1969
Khittah Surabaya 1978 menekankan pada dua hal penting, di antaranya:
Jadi, inti dari Khittah Surabaya adalah untuk menegaskan kembali peran Muhammadiyah sebagai gerakan yang fokus pada masyarakat, dengan dakwah dan tajdid sebagai fokus utama.
Muhammadiyah tetap menjunjung tinggi prinsip sebagai organisasi dakwah Islam yang tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun.
Kendati demikian, Muhammadiyah tidak menghalangi anggotanya untuk bergabung dalam partai politik, dengan syarat keterlibatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam anggaran dasar Muhammadiyah.
Referensi: