KOMPAS.com - Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada November 1912.
Organisasi ini mengidentifikasi diri sebagai gerakan Islam modernis di Indonesia, yang melakukan perintisan pemurnian dan pembaruan Islam dengan berasaskan ajaran Nabi Muhammad.
Meski bukan gerakan pendidikan, manifestasi gerakannya yang paling menonjol dan mengakar justru bidang pendidikan.
Bahkan kelahiran organisasi Muhammadiyah berawal dari keinginan KH Ahmad Dahlan untuk memecahkan permasalahan bangsa Indonesia yang masih terjerembab dalam kebodohan, kemelaratan, dan kemunduran, melalui sistem pendidikan.
Dari situlah lahir lembaga pendidikan Muhammadiyah, yang saat ini mempunyai 3.334 sekolah dalam berbagai jenjang yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Berikut ini sejarah berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Baca juga: Ciri-Ciri Lembaga Pendidikan Muhammadiyah
Pendiri lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah KH Ahmad Dahlan, yang juga dikenal sebagai tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah.
Melansir laman Majelis DIKDASMEN PP Muhammadiyah, tonggak awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah dihitung sejak KH Ahmad Dahlan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (MIDI) pada 1 Desember 1911.
MIDI adalah sekolah pertama yang didirikan oleh Muhammadiyah.
Sebenarnya, sebelum mendirikan MIDI, KH Ahmad Dahlan pernah mencoba memperbarui pendidikan di Pondok Langgar Kidul.
KH Ahmad Dahlan memasukkan kitab-kitab karya tokoh pembaru Islam, seperti Muhammad Abduh, sebagai referensi dan kurikulum pondok.
Baca juga: Sejarah Hizbul Wathan, Gerakan Kepanduan Muhammadiyah
Alasan Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan bermula dari keinginan KH Ahmad Dahlan untuk mengamalkan ilmu yang ia peroleh untuk memperbaiki serta memajukan kehidupan kaum pribumi yang masih terjajah.
Pada sekitar tahun 1900-an, KH Ahmad Dahlan berusaha mencari konsepsi baru sistem pendidikan alternatif, yang dapat mengentaskan rakyat Indonesia dari kebodohan, kemelaratan, dan kemunduran.
Saat itu, program pendidikan yang dijalankan Politik Etis pemerintah kolonial Belanda masih meminggirkan kaum pribumi.
Selain itu, ada pula umat Islam yang tidak mau menerima sistem pendidikan Barat.