Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
RD. Yustinus Sulistiadi
Budayawan

Pendiri gerakan budaya Cultura di Vita dan Yayasan IKN (Ikon Kebudayaan Nusantara)

Benarkah Suara Rakyat Suara Allah?

Kompas.com - 18/02/2024, 06:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JUDUL di atas adalah adagium latin: Vox populi vox Dei = voice of people, voice of God. Hal itu sering terdengar, terlebih ketika ada hajatan pemilu.

Dasarnya ada pada konsep demokrasi (dari Yunani kuno: demos 'rakyat' dan kratos 'aturan’): sistem pemerintahan yang di dalamnya kekuasaan negara berada di tangan rakyat atau populasi umum dari suatu negara.

Penulis mau mengkritisi, apakah suara rakyat memang suara Allah? Mari kita lihat tiga kasus sebagai contoh.

Santo Ambrosius

Dalam sejarah Gereja ada kisah yang dipandang sebagai terjadinya “Vox Populi Vox Dei”, yaitu terpilihnya uskup Milan, Santo Ambrosius. Cerita singkatnya demikian:

Gereja dalam ancaman perpecahan karena aliran sesat: arianisme. Cukup banyak pengikutnya.

Ketika uskup Milan, Assenzio meninggal, mereka bingung siapa pengganti uskup. Keadaannya mencekam. Gereja bisa pecah, demikian juga kekaisaran.

Waktu itu, mulai ada hubungan dekat antara Gereja dan kekaisaran, sesudah berakhirnya masa penganiayaan kepada kaum Kristen yang mencekam dengan keluarnya edik kaisar Konstantin 313 di Kota Milano.

Kehadiran Gereja diterima dan makin besarlah pengikutnya. Bahkan saling memengaruhi antara dua kekuasaan itu: gereja dan kekaisaran yang nantinya berkembang menjadi cesaro-papisme.

Di tengah ketidakpastian suksesi Keuskupan Milano, di antara kerumunan umat yang takut akan perpecahan dan peperangan, berteriaklah seorang anak, “Ambrosius, Uskup”.

Situasi segera hening, kemudian meledaklah suara unanim, teriakan seluruh jemaat, mengikuti si anak itu, “ya, Ambrosius sebagai Uskup”.

Di sinilah masalahnya. Ambrosius adalah non-Katolik, belum dibaptis. Sim salabim! Melalui proses super cepat, dibuat pelajaran baptis, kemudian dibaptis dan segera ditahbiskan dengan berurutan tiga tahbisan: diakon, imam dan uskup.

Itulah satu-satunya proses menjadi uskup yang paling aneh sepanjang sejarah.

Hasilnya luar biasa. Ambrosius menjadi penulis ajaran Gereja yang unggul, sebagai pujangga Gereja. Sesudah wafat dijadikan sebagai Santo.

Ambrosius lahir tahun 330 dari keluarga bangsawan: punya banyak bakat, terpelajar, cakap memimpin dengan karier cemerlang.

Tahun 370, kaisar Valentinianus mengangkatnya sebagai gubernur separuh Italia utara dengan kantor pusat di Milan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com