Bapak dari Ambrosius adalah seorang Gubernur Galia. Mereka mencintainya karena keadilannya dan perhatian tulusnya terhadap orang-orang termiskin.
Bagaimana melihat peristiwa itu? Pertama, memang ada suara rakyat (Vox Populi) dimulai dari teriakan anak dan kemudian diamini oleh semua hadirin.
Kedua, hadirin adalah rakyat yang matang secara sipil dan kegerejaan, yang lulus pada masa penganiayaan 300 tahun lebih. Mereka adalah jemaat militan dan teruji kesaksian iman.
Ketiga, rekam jejak Ambrosius diketahui. Orangnya terkenal. Sekalipun belum dibaptis, namun dia unggul dalam kepemimpinan dan kecerdasannya dalam tugas-tugas sipil kekaisaran masa itu
Keempat, suara rakyatpun (menjadi Vox Dei menjadi suara Allah) dinilai oleh otoritas Gereja dalam kebersamaan dan dalam doa.
Benarkah selalu begitu, bahwa “Suara rakyat itu suara Tuhan”? Bagaimana dengan Hitler yang sangat rasialitis dengan partai NAZI-nya yang maha kejam itu? Yang menjadi penyebab Perang Dunia II?
Mereka membunuh anak-anak cacat Jerman, musuh-musuh politik. Membantai orang-orang Yahudi sekitar 6 juta jiwa hanya karena mereka berdarah Yahudi di kamp-kamp konsentrasi yang mereka ciptaan.
Para tawanan dijadikan kelinci percobaan obat, barang fisika, dan kimia lainnya hingga tersiksa sampai mati.
Hitler naik menjadi pemimpin Jerman melalui demokrasi, pemilu. Rakyat mayoritas memilih Hitler sebagai pemimpinnya.
Dengan demagogi rasialistis, provokasi politik kambing hitam dan ilusi masa depan yang gemilang sebagai ras unggul, bangsa Aria, kepada rakyat Jerman yang sedang tertunduk malu karena kalah Perang Dunia I dan problem berat ekonomi waktu itu, Hitler berhasil menarik simpati massa. Sesudah naik melalui demokrasi, Hitler membunuh demokrasi.
Bagaimana melihat peristiwa itu? Pertama, suara rakyat di sini bukan suara Tuhan, tapi suara “setan”, dari insane society, walaupun banyak juga yang masih waras.
Kedua, rakyat yang minder kalah perang dan kelaparan rawan provokasi. Harapan rakyat sangat jangka pendek: panis et circentes. Butuh makanan, butuh hiburan dari rasa tertekan.
Ketiga, Hitler adalah pekerja keras, namun kasar dan arogan untuk menutupi kekosongan jiwanya.
Beberapa psikiater mengatakan Hitler mengidap inferiority complex. Sifat kerja keras dan tak kenal menyerah mengantarkan dia menjadi pemimpin tertinggi Jerman.
Keempat, kekuasaan, manipulasi kata, sistem yang menindas dan kekerasan negara ditambah ideologi yang ilusif menjadi semacam obat palsu yang diminum rakyat Jerman.