KOMPAS.com - Raden Oto Iskandar di Nata, ada pula yang menulisnya Otto Iskandardinata, merupakan tokoh Pahlawan Nasional yang pernah menjadi wakil ketua Budi Utomo cabang Pekalongan.
Dalam sejarah Indonesia, diketahui bahwa Si Jalak Harupat julukan untuk Oto Iskandar di Nata.
Lantas, kenapa ia disebut Si Jalak Harupat?
Baca juga: Peran Oto Iskandar di Nata dalam PPKI
Oto Iskandar di Nata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Bandung, Jawa Barat.
Oto merupakan seorang guru yang menyalurkan sebagian banyak waktunya untuk pergerakan nasional.
Pada 1930-an, ia menjadi anggota Dewan Kota (Gemeenteraad) Pekalongan, sebagai perwakilan Budi Utomo.
Posisi sebagai anggota Dewan Kota memberinya tanggung jawab besar untuk menjadi penghubung antara warga pribumi dengan pemerintah kolonial.
Dalam bahasa Sunda, jalak harupat adalah sebutan bagi ayam jantan yang kuat, pemberani, dan selalu menang saat diadu.
Pemberian julukan Si Jalak Harupat bermula ketika Oto berdebat hebat dengan Residen Pekalongan.
Dalam perdebatan tersebut, Oto dengan jelas dan tegas, menyuarakan penderitaan yang dialami oleh rakyat di bawah pemerintahan kolonial.
Oto mengecam residen yang tidak melakukan tugasnya dengan baik.
Baca juga: Misteri Kematian Oto Iskandar Di Nata
Kritik itulah yang memicu perdebatan sengit dengan Residen Pekalongan yang merasa tersinggung.
Untuk mendukung argumennya, Oto memberikan contoh beberapa kasus yang diabaikan.
Oto Iskandar di Nata bahkan berani membongkar segala seluk-beluk, kejelekan, dan kecurangan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda selama menduduki Indonesia.
Di luar dugaan sang residen, Oto ternyata juga mendapat dukungan dari Dewan Kota dan masyarakat, sehingga berhasil memenangkan argumentasinya tersebut.
Alhasil, Residen Pekalongan tersebut dicopot dari jabatannya dan dipindahkan ke tempat lain.
Berita tentang keberanian Oto segera menyebar luas di masyarakat, yang akhirnya memberinya julukan Si Jalak Harupat.
Julukan itu merupakan pengakuan atas keberanian Oto Iskandar di Nata yang vokal dalam mengkritik pemerintah kolonial dan menyuarakan penderitaan warga pribumi.
Referensi: