Ia biasa mengayuh sepeda dari Kemusuk ke Yogyakarta demi menuntaskan pendidikan SMP.
Setelah lulus SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas (SMA), tetapi terkendala biaya.
Oleh karena itu, Soeharto kemudian memilih masuk ke bidang militer. Ia mendaftar ke Militer Koning Willem III (sekarang dikenal sebagai Akademi Militer Magelang) pada 1940.
Di akademi ini, Soeharto mendapatkan pendidikan yang tidak hanya membentuk karakternya sebagai seorang pemimpin, tetapi juga mempertajam bakat militernya.
Pada 1941, ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah. Kemudian, pada 5 Oktober 1945, Soeharto resmi menjadi anggota TNI.
Soeharto menikah dengan seorang anak pegawai Mangkunegaran bernama Siti Hartinah pada 1947.
Dari pernikahannya dengan Siti Hartinah atau biasa disapa Ibu Tin, Soeharto dikaruniai enam anak, yakni Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Baca juga: Peristiwa G30S, Mengapa Soeharto Tidak Diculik dan Dibunuh PKI?
Soeharto turut berperan sebagai anggota TNI selama masa perang kemerdekaan. Ia diberi tugas memimpin pasukan melawan aksi militer Belanda yang berupaya kembali menguasai Indonesia.
Nama Soeharto semakin dikenal publik setelah ia turut berperan dalam usaha menguasai Kota Yogyakarta pada serangan umum 1 Maret 1949.
Setelah itu, Soeharto mendapatkan pangkat brigadir jenderal dan bertugas memimpin Komando Mandala pada 1961, dalam misi merebut kembali Irian Barat.
Seusai merampungkan tugas di Irian Barat, Soeharto mendapatkan kenaikan pangkat menjadi mayor jenderal.
Jenderal A.H. Nasution kemudian menarik Soeharto ke markas besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Selain itu, ia juga naik menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1962.
Perpecahan di tubuh ABRI dan meletusnya Gerakan 30 September (G30S) 1965 kemudian memberi panggung lebih luas kepada Soeharto untuk tampil ke politik.
Operasi yang berlangsung setelah peristiwa G30S, membuka jalan Soeharto ke panggung politik Indonesia.
Jalan Soeharto ke panggung politik Indonesia juga didukung oleh Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 1946.
Supersemar memberi kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil dan menentukan segala tindakan supaya permasalahan terselesaikan dan dapat memulihkan keamanan dan ketertiban nasional.
Soeharto kemudian menerima jabatan menjadi Panglima Komando Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Soeharto Lahir di Bantul 8 Juni 1921
Pada 1967, jalan menuju kursi presiden Indonesia terbuka bagi Soeharto ketika ia diangkat sebagai pejabat presiden menggantikan Soekarno.