KOMPAS.com - Antara 1959 hingga 1966, di Indonesia berlaku Demokrasi Terpimpin, di mana semua kekuasaan terpusat di tangan Presiden Soekarno.
Pemberlakuan sistem Demokrasi Terpimpin tidak lepas dari Konsepsi Presiden 1957 atau Konsepsi Presiden Soekarno.
Pada 21 Februari 1957, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah konsepsi politik untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari perpecahan.
Nyatanya, konsepsi yang diungkap dalam pidato Presiden Soekarno tersebut menuai pro dan kontra.
Lantas, apa isi Konsepsi Presiden dalam pidato Soekarno tahun 1957 dan mengapa menimbulkan perdebatan?
Baca juga: Apa Peran Soekarno pada Masa Demokrasi Terpimpin?
Pada 1955, Indonesia untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu).
Pemilu pertama Indonesia bertujuan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Konstituante.
Namun, pertikaian yang terjadi di kalangan partai politik di Indonesia membuat Dewan Konstituante tidak kunjung menyelesaikan tugasnya.
Melansir esi.kemdikbud.go.id, menurut Soekarno, pertikaian parpol pada gilirannya mengakibatkan perlambatan proses pembangunan nasional.
Partai yang tidak memiliki representasi di parlemen pun menjadi lebih sering menjatuhkan parlemen.
Atas dasar situasi itulah, Pada 21 Februari 1957, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah konsepsi politik untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari perpecahan.
Konsepsi yang kemudian dikenal sebagai Konsepsi Presiden 1957 atau Konsepsi Presiden Soekarno itu diumumkan dalam pidato yang berjudul "Menyelamatkan Republik Indonesia".
Baca juga: Nawaksara, Pidato Pertanggungjawaban Soekarno yang Ditolak MPRS
Presiden Soekarno berharap, konsepsinya dapat mendorong penerapan sistem demokrasi yang lebih sesuai dengan karakter Indonesia.
Isi Konsepsi Presiden Soekarno setidaknya terdiri atas tiga poin utama.
Berikut ini pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam Konsepsi Presiden 1957.
Baca juga: Mengapa Mahasiswa Menuntut Pengunduran Diri Presiden Soekarno?