Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi Pengangkatan BJ Habibie sebagai Presiden Indonesia

Kompas.com - 05/04/2022, 16:00 WIB
Rakhadian Noer Kuswana,
Widya Lestari Ningsih

Tim Redaksi

Pengunduran diri Soeharto 

Antara 18-20 Mei 1998, terjadi berbagai perkembangan yang sangat menentukan kedudukan Soeharto.

Gerakan anti-Soeharto melakukan berbagai tekanan melalui demonstrasi di gedung parlemen. Di saat yang sama, para pendukungnya pun mulai berpihak kepada demonstran.

Pada 21 Mei, Soeharto membacakan pernyataan bahwa ia mundur dari kursi kepresidenan, dan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, BJ Habibie, akan melanjutkan sisa jabatan presiden/mandataris.

Hari itu, Soeharto resmi turun dari kursi kepresidenan dan BJ Habibie naik menduduki kursi kepresidenan.

Baca juga: Penyebab Runtuhnya Kekuasan Orde Baru

Pro dan kontra BJ Habibie sebagai Presiden RI

Meski cita-cita reformasi untuk menurunkan Soeharto dari kursi presiden sejatinya sudah terlaksana, tetapi naiknya BJ Habibie sebagai penggantinya ternyata belum menyelesaikan masalah.

Pengangkatan BJ Habibie sebagai presiden menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat.

Salah satu alasan penolakan terhadap kepemimpinan BJ Habibie adalah terkait aspek konstitusional.

Menurut Yusril Ihza Mahendra, mahaguru hukum tata negara di Universitas Indonesia (UI), pengunduran diri Soeharto maupun pengambil sumpah presiden BJ Habibie itu konstitusional.

Pengunduran diri tersebut mengacu pada Pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi: "Bila presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya, ia diganti Wakil Presiden sampai habis masa waktunya". 

Dalam TAP MPR No, 7/MPR/1973 Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 2 ayat 1 pun dijelaskan ketika presiden berhalangan tetap, maka diganti oleh Wakil Presiden hingga habis masa waktunya.

Baca juga: UUD 1945, Konstitusi Pertama Indonesia

Hal ini sejalan dengan pendapat Sri Sumantri (guru besar hukum dan rektor Untag), Harun Al-Rasyid (guru besar hukum tatanegara UI) dan Satya Arianto (sekretaris jurusan hukum tatanegara UI).

Begitu pula dengan wakil-wakil ketua DPR/MPRS Syarwan Hamid dan Ismail Hasan Metareum, yang berpendapat bahwa pengangkatan BJ Habibie sah dan konstitusional.

Namun, hal berbeda dinyatakan Dimyati Hartono, gurubesar hukum tatanegara Universitas Diponegoro, dan aktivis PDI, Megawati.

Menurutnya, Sidang Umum Istimewa harus dilaksanakan untuk pengunduran diri maupun penyerahan kekuasaan jabatan presiden.

Oleh karena itu, pernyataan pengunduran diri Soeharto, yang tidak melalui prosedur, dinilai inkonstitusional.

Baca juga: Landasan Konstitusional Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com