Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi Pengangkatan BJ Habibie sebagai Presiden Indonesia

Kompas.com - 05/04/2022, 16:00 WIB
Rakhadian Noer Kuswana,
Widya Lestari Ningsih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Berakhirnya Orde Baru pada 1998 ditandai oleh pergantian kekuasaan yang dipegang oleh Soeharto kepada BJ Habibie.

Namun, naiknya BJ Habibie sebagai presiden langsung menimbulkan berbagai ketegangan.

Salah satunya disebabkan oleh pro dan kontra dari masyarakat terhadap naiknya BJ Habibie sebagai penerus Soeharto dalam menduduki jabatan kursi kepresidenan.

Lantas, mengapa pengangkatan BJ Habibie sebagai presiden menimbulkan pro dan kontra?

Baca juga: Mengapa BJ Habibie Dijuluki Sebagai Mr Crack?

Hari-hari terakhir Orde Baru

Untuk melihat pro dan kontra yang terjadi setelah pengangkatan BJ Habibie sebagai presiden, perlu diketahui terlebih dahulu kondisi pada hari-hari terakhir era Orde Baru.

Krisis moneter

Memasuki pertengahan 1997, berbagai negara di Asia seperti Korea, Thailand, dan Malaysia terkena krisis moneter.

Indonesia pun terkena imbas krisis moneter, yang mengakibatkan nilai tukar rupiah terhadap dollar yang pada awalnya bernilai Rp 2.575 pada Agustus 1997, menjadi 12.600 pada Mei 1998.

Keadaan ekonomi yang tidak stabil ini dipercaya oleh masyarakat Indonesia sebagai dampak dari buruknya tatanan politik kala itu.

Jika kondisi politik stabil, maka ekonomi akan stabil juga. Hal ini menjadi momentum, di mana kepercayaan rakyat terhadap pemerintah Orde Baru semakin menipis dan mulai melakukan berbagai unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasinya.

Baca juga: Penyebab Krisis Moneter di Indonesia

Gerakan mahasiswa

Krisis moneter yang terjadi sejak Juli 1997 menyebabkan kesengsaraan dan keprihatinan bagi golongan menengah-bawah di Indonesia.

Gerakan mahasiswa yang berawal sebagai bentuk keprihatian terhadap kondisi masyarakat, pelan-pelan berubah menjadi gerakan untuk melakukan reformasi total dan menolak rezim Orde Baru.

Dimulai dari gerakan mahasiswa di Jakarta, pada akhirnya merambat ke aksi di luar ibu kota, bahkan luar Pulau Jawa.

Baca juga: Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia, Sejak 1908 hingga Reformasi

Tragedi Trisakti

Memasuki Mei 1998, gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa semakin berani. Demonstrasi besar terjadi di berbagai wilayah, seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Surakarta, Medan, Lampung, Ujung Pandang, dan lainnya.

Pada 12 Mei, Universitas Trisakti melakukan aksi damai dengan massa sejumlah 6.000 orang, termasuk mahasiswa, dosen, alumni, dan juga karyawan.

Aksi ini berakhir dengan kematian empat mahasiswa, dan 20 orang lainnya mengalami luka-luka. Tragedi ini menjadi penyulut api kemarahan aktivis reformasi lainnya.

Baca juga: Tragedi Trisakti: Latar Belakang, Kronologi, dan Korban Penembakan

Pengunduran diri Soeharto 

Antara 18-20 Mei 1998, terjadi berbagai perkembangan yang sangat menentukan kedudukan Soeharto.

Gerakan anti-Soeharto melakukan berbagai tekanan melalui demonstrasi di gedung parlemen. Di saat yang sama, para pendukungnya pun mulai berpihak kepada demonstran.

Pada 21 Mei, Soeharto membacakan pernyataan bahwa ia mundur dari kursi kepresidenan, dan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, BJ Habibie, akan melanjutkan sisa jabatan presiden/mandataris.

Hari itu, Soeharto resmi turun dari kursi kepresidenan dan BJ Habibie naik menduduki kursi kepresidenan.

Baca juga: Penyebab Runtuhnya Kekuasan Orde Baru

Pro dan kontra BJ Habibie sebagai Presiden RI

Meski cita-cita reformasi untuk menurunkan Soeharto dari kursi presiden sejatinya sudah terlaksana, tetapi naiknya BJ Habibie sebagai penggantinya ternyata belum menyelesaikan masalah.

Pengangkatan BJ Habibie sebagai presiden menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat.

Salah satu alasan penolakan terhadap kepemimpinan BJ Habibie adalah terkait aspek konstitusional.

BJ Habibie, Kamis (21/5/1998) mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI yang baru di Jakarta, disaksikan presiden sebelumnya, SoehartoDokumen Kompas BJ Habibie, Kamis (21/5/1998) mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI yang baru di Jakarta, disaksikan presiden sebelumnya, Soeharto
Menurut Yusril Ihza Mahendra, mahaguru hukum tata negara di Universitas Indonesia (UI), pengunduran diri Soeharto maupun pengambil sumpah presiden BJ Habibie itu konstitusional.

Pengunduran diri tersebut mengacu pada Pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi: "Bila presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya, ia diganti Wakil Presiden sampai habis masa waktunya". 

Dalam TAP MPR No, 7/MPR/1973 Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 2 ayat 1 pun dijelaskan ketika presiden berhalangan tetap, maka diganti oleh Wakil Presiden hingga habis masa waktunya.

Baca juga: UUD 1945, Konstitusi Pertama Indonesia

Hal ini sejalan dengan pendapat Sri Sumantri (guru besar hukum dan rektor Untag), Harun Al-Rasyid (guru besar hukum tatanegara UI) dan Satya Arianto (sekretaris jurusan hukum tatanegara UI).

Begitu pula dengan wakil-wakil ketua DPR/MPRS Syarwan Hamid dan Ismail Hasan Metareum, yang berpendapat bahwa pengangkatan BJ Habibie sah dan konstitusional.

Namun, hal berbeda dinyatakan Dimyati Hartono, gurubesar hukum tatanegara Universitas Diponegoro, dan aktivis PDI, Megawati.

Menurutnya, Sidang Umum Istimewa harus dilaksanakan untuk pengunduran diri maupun penyerahan kekuasaan jabatan presiden.

Oleh karena itu, pernyataan pengunduran diri Soeharto, yang tidak melalui prosedur, dinilai inkonstitusional.

Baca juga: Landasan Konstitusional Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia

Bambang Widjajanto, Ketua YLBHI, juga sejalan dengan Dimyati Hartono. Pasal 8 UUD 1945 hanya berlaku untuk Wakil Presiden hanya bisa melaksanakan tugas sampai akhir masa jabatannya.

Selain itu, sumpah Presiden BJ Habibie juga menjadi bahan perdebatan. Sumpah yang dilakukan tidak dihadapan MPR dianggap tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.

Nurcholis Majid, intelektual muslim di Indonesia, memberikan komentar terkait perdebatan konstitusional ini.

Menurutnya, pengangkatan BJ Habibie tetap sah karena pada saat itu, gedung DPR/MPR sedang diduduki oleh mahasiswa demonstran, sehingga akan sangat sulit oleh melaksanakan sidang di sana.

 

Referensi:

  • Hisyam, M. (2003). Hari-hari Terakhir Orde Baru. In M. Hisyam (ed.), Krisis Masa Kini dan Orde Baru (pp. 56-94). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
  • Madinier, R. (2017). Dari Revolusi Hingga Reformasi: Perjalanan Mutasi Politik yang Tak Kunjung Selesai. In R. Madinier (ed.)Revolusi tak Kunjung Selesai  (pp. 129-186). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com