KOMPAS.com - Reformasi di Indonesia disebut juga sebagai era pasca-Soeharto yang dimulai pada tahun 1998, mengakhiri kekuasaan 32 tahun Soeharto.
Soeharto melepas jabatannya pada 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie.
Baca juga: Kabinet Ali Sastroamijoyo I: Susunan, Program Kerja, dan Pergantian
Mundurnya Presiden Soeharto dilatarbelakangi krisis moneter sejak 1997.
Kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu tengah sangat melemah dan merosot sehingga menimbulkan ketidakpuasan masyarakat.
Ketidakpuasan ini kemudian semakin membesar dan memicu terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh berbagai aksi mahasiswa di wilayah Indonesia.
Kerusuhan-kerusuhan terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia.
Akibatnya, pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pun mendapat banyak tekanan politik baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dari luar negeri, Amerika Serikat secara terbuka meminta agar Soeharto mengundurkan dari jabatannya sebagai Presiden.
Sedangkan dari dalam negeri, terjadinya gerakan mahasiswa yang turun ke jalan menuntut agar Soeharto lengser dari jabatannya.
Kepemimpinan Soeharto semakin menjadi sorotan sejak terjadinya Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa tertembak mati dan memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari kemudian.
Tekanan dari para massa terhadap Soeharto pun memuncak ketika sekitar 15.000 mahasiswa mengambil alih Gedung DPR/MPR yang berakibat proses politik nasional lumpuh.
Soeharto yang saat itu sudah terdesak masih berusaha untuk menyelamatkan kursi kepresidenannya dengan melakukan perombakan kabinet dan membentuk Dewan Reformasi.
Tetapi, pemberontakan yang dilakukan oleh para mahasiswa ini membuat Presiden Soeharto tidak memiliki pilihan lain selain mengundurkan diri.
Pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka, Presiden Soeharto secara resmi menyatakan dirinya berhenti menjabat sebagai Presiden Indonesia.
Melalui UUD 1985 Pasal 8, Soeharto segera mengatur agar Wakil Presiden BJ Habibie disumpah untuk menjadi penggantinya di hadapan Mahkamah Agung.
Sejak saat itu, kepemimpinan beralih dari Soeharto ke BJ Habibie dan terbentuk Era Reformasi.
Baca juga: Kabinet Wilopo: Latar Belakang, Susunan, dan Program Kerja
Gerakan atau Era Reformasi menjadi peristiwa bersejarah di Indonesia, karena mampu menuntaskan rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun, sejak 1966.
Maksud dan tujuan diadakannya reformasi adalah:
Baca juga: Kabinet Burhanuddin Harahap: Latar Belakang, Susunan, dan Kebijakan
Setelah reformasi, orang-orang bebas untuk mengemukakan pendapatnya.
Presiden BJ Habibie memberikan ruang bagi siapapun yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat umum maupun unjuk rasa atau demonstrasi.
Namun, bagi mahasiswa yang akan melakukan aksi unjuk rasa, terlebih dulu diharuskan untuk mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan lokasi di mana demonstrasi dilakukan.
Hal ini dilakukan karena mengacu dengan UU No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di perwakilan rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap, yaitu dari yang tadinya berjumlah 75 orang menjadi 38 orang.
Dahulu, ABRI terdiri dari empat angkatan, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian RI.
Namun, sejak tanggal 5 Mei 1999, Polri telah memisahkan diri dari ABRI dan berganti nama menjadi Kepolisian Negara, istilah ABRI juga berubah menjadi TNI.
Pada masa pemerintahan BJ Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum, di mana reformasi hukum ini disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.