Ditambah lagi, perusahaan-perusahaan di Indonesia tetap berlomba membeli dollar, sehingga tekanan rupiah semakin terlihat dan utang semakin banyak.
Kekacauan pada saat itu berusaha diatasi oleh Dana Moneter Internasional (IMF), tetapi tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Baca juga: Krisis Moneter: Pengertian dan Dampaknya
Krisis moneter yang belum membaik ditambah beberapa sebab lainnya berujung pada turunnya Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia pada 1998.
Setelah itu, muncul sejumlah permasalahan mengenai sistem ketatanegaraan dan tuntutan daerah yang telah memberi banyak kontribusi bagi pemerintah pusat.
Pihak daerah merasa bahwa sudah seharusnya mereka memimpin daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan dari orang lain.
Sebagai respons, pemerintah pun melaksanakan otonomi daerah, di mana pemerintah pusat memberi wewenangnya kepada daerah untuk mengatur urusan-urusan mereka.
Daerah yang diberi kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri disebut daerah otonom.
Itulah yang melatarbelakangi lahirnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, menggantikan UU No 22 Tahun 1999.
Sedangkan untuk mengatur keuangan di daerah, pemerintah mengeluarkan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Baca juga: 6 Agenda Reformasi 1998
Kondisi itulah yang dimaksud otonomi seluas-luasnya dalam Agenda Reformasi 1998, di mana daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri.
Daerah juga berwenang untuk membuat kebijakan, melakukan pemberdayaan masyarakat, dan meningkatkan peran serta prakarsa.
Beberapa manfaat otonomi daerah bagi pemerintah pusat, yaitu: