KOMPAS.com - Terowongan Niyama Romusha dikerjakan pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, tepatnya Februari 1943.
Terowongan ini dikerjakan oleh ribuan romusha atau pekerja paksa, tujuannya adalah untuk mengalirkan banjir ke Samudra Hindia.
Pemrakarsa pembangunan terowongan ini adalah Residen Enji Kihara, lulusan Akademi Militer Jepang.
Awal mula tercetus ide pembangunan terowongan Niyama adalah karena meluapnya Sungai Brantas yang merendam 150 desa serta 9.000 rumah di Kabupaten Tulungagung.
Baca juga: Bendera Pusaka Pernah Hilang, Ini Ceritanya
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, tepatnya 17 November 1942, Sungai Brantas meluap.
Akibatnya, sebanyak 150 desa dan 9.000 rumah terendam.
Luapan air ini juga menghancurkan areal pertanian. Genangan air di daerah hilir membentuk tanah berawa yang luas, yang disebut campur darat oleh penduduk setempat.
Guna mengatasi masalah tersebut, pemerintah Karesidenan Kediri membangun sebuah terowongan melalui wilayah perbukitan untuk menguras air yang masih menggenang di rawa-rawa ke Samudra Hindia.
Selain itu, terowongan ini juga diharapkan dapat menjaga kesuburan tanaman padi yang sedang diintensifkan oleh Jepang untuk menyuplai makanan tentaranya di medan perang.
Pemrakarsa pembangunan terowongan ini adalah Residen Enji Kihara, lulusan Akademi Militer Jepang yang pernah menjabat Kepala Departemen Pembangunan Kantor Gubernur Jenderal di Taiwan.
Akhirnya, pembangunan mulai dilakukan pada Februari 1943.
Baca juga: Mengapa Orang Belanda Membenci Soekarno?
Zaman kedudukan Jepang di Indonesia, banyak penduduk yang dijadikan romusha (pekerja paksa).
Dalam pengerjaan proyek ini, sebuah koperasi irigasi diorganisasikan di bawah pangreh praja yang bertanggung jawab atas pencarian buruh dan pengamanan dana pembangunan.
Proyek terowongan ini membutuhkan 20.000 romusha dengan dana total 750 ribu, sebanyak 300 ribu disediakan karesidenan dan sisanya disediakan pemerintah militer.
Beberapa bulan pertama, proses pekerjaan berjalan lancar dengan mempekerjakan lebih dari 10.000 romusha.
Para pekerja harus membuat saluran terbuka dengan meratakan punggung bukit, batu-batu kapur di dasar punggung bukit harus dihancurkan.
Namun, karena tidak cukupnya bubuk peledak, pihak pembangunan meminta bantuan kepada Departemen Transportasi Jepang di Jakarta, tetapi ditolak.
Bantuan pun datang dari Kepala Departemen Industri, Tennichi Koichi.
Ia berminat terhadap proyek tersebut karena dianggap berpotensi untuk meningkatkan produksi pertanian.
Sebelum bukit diledakkan, staf Residen Kediri mendapat informasi dari warga bahwa rawa-rawa itu sebelumnya dijadikan landasan bagi korps penerbangan Angkatan Laut Belanda.
Rupanya, di dalam rawa-rawa tersebut terdapat 23 bom yang ditanam oleh Belanda.
Selain menggunakan peledak, karesidenan juga meminjam mesin pengebor dan kompresor dari Ishihara Sangyo Co. Ltd. Departemen Administrator Militer di Jakarta.
Mereka mengirimkan seorang kapten Angkatan Darat, seorang insinyur sipil yang berpengalaman dalam pembangunan terowongan.
Baca juga: Ibnu Sutowo dan Amputasi yang Melejitkan Kariernya
Suatu waktu, proses pembangunan terowongan mengalami kendala, mobilisasi romusha tersendat, bahkan berkurang.
Selain karena lokasi daerah mereka tertutup rawa dan hutan penuh binatang buas, saat itu penyakit malaria juga sedang merebak.
Banyak romusha yang kemudian sakit sampai meninggal dunia.
Untuk mengatasi berkurangnya romusha, pangreh praja dan pejabat desa dikerahkan untuk merekrut romusha secara paksa.
Seorang kepala desa Gurah di Tulungagung mengirim sekitar 500 orang dari desanya.
Pembangunan terowongan ini ditargetkan selesai pada awal Juni, tetapi meleset jadi Juli 1944.
Terowongan ini dalam bahasa Jawa disebut Tumpak Oyot (Akar Gunung), diterjemahkan Nishida, pekerja Karesidenan Kediri, menjadi Neyama.
Ne artinya akar dan yama berarti gunung.
Terowongan Niyama membuat para petani di wilayah terbebas dari banjir.
Terowongan ini terus bekerja dengan baik sampai Jepang hengkang dari Indonesia.
Namun, pada 1955, terowongan mulai mengalami kerusakan akibat banjir bandang.
Empat tahun kemudian, terowongan harus dibangun kembali sebagai bagian dari Proyek Pembangunan Umum Sungai Brantas dengan biaya sebesar 1.972.000 dolar Amerika.
Proyek ini digarap oleh dua perusahaan konstruksi Jepang, Nippon Koei dan Kashima Kensetsu, yang kemudian selesai bulan April 1961.
Baca juga: Gadis Rasid: Kiprah dan Perjuangannya
Akan tetapi, karena terowongan Niyama dianggap belum cukup menangani banjir di Tulungagung, terutama banjir windon setiap delapan tahun sekali, pemerintah Orde Baru membangun Niyama II.
Neyama II diresmikan pada 1986.
Kini, Niyama dijadikan sebagai objek wisata berkat pemandangan dan terowongan drainase besarnya yang melintasi gunung.
Artikel ini telah tayang di Historia.id dengan judul "Terowongan Neyama Romusha".