KEBERAGAMAN merupakan salah satu modal sosial dan fondasi penting yang berpotensi mengantarkan entitas bangsa atau negara menuju kemajuan dan kemakmuran.
Keberagaman yang meliputi berbagai aspek itu, seperti suku, budaya, ras, agama, dan kelompok, apabila mampu dikelola dengan baik, ia akan menjadi ceruk bagi masyarakat untuk belajar satu sama lain, menemukan solusi untuk berbagai masalah, dan menciptakan lingkungan harmonis.
Sayangnya, pengelolaan keberagaman di berbagai negara hari ini masih jauh dari harapan. Sehingga muncul ragam permasalahan berlatar perbedaan dan tak berkesudahan.
Padahal, permasalahan dalam keberagaman jika terus dibiarkan dan meruncing, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi disharmonisasi sosial, disintegrasi, bahkan berujung pada konflik kekerasan (Nurcahyo and Astutik 2018).
Karena itu, dalam menjaga keberagaman, penting mendeteksi sejak dini sel-sel yang kiranya dapat mendistorsi keajegan dalam kehidupan keberagaman. Hal itu pula yang menjadi tantangan untuk diatasi bersama.
Nah, salah satu tantangan utama yang mungkin jarang disadari oleh masyarakat kita yang beragam ini adalah bahaya dari prasangka.
Prasangka pertama kali diperkenalkan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport, dalam bukunya "The Nature of Prejudice in 1954". Ia menulis prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak luwes.
Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati dapat langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu.
Dalam kelompok yang multietnis dan multiras, munculnya prasangka tidak hanya didasarkan pada generalisasi yang keliru pada perasaan, tetapi munculnya prasangka dapat disebabkan oleh hal tertentu, seperti (1) gambaran perbedaan antarkelompok, (2) nilai-nilai budaya yang dimiliki kelompok mayoritas sangat menguasai kelompok minoritas, (3) stereotip antaretnik, dan (4) kelompok etnik ada yang merasa superior dan menjadikan kelompok etnik lain inferior, (Allan G. Johnson; 1986).
Dalam konteks keberagaman, prasangka terus menjadi isu menantang, tak hanya di Indonesia tapi di berbagai belahan dunia.
Di Eropa, peningkatan sentimen anti-imigran dan kebangkitan partai-partai politik yang bersandar pada nasionalisme ekstrem menunjukkan adanya prasangka terhadap kelompok imigran dan minoritas agama, terutama Muslim.
Hal ini bisa dilihat dalam kebijakan imigrasi yang ketat, pengawasan berlebihan terhadap komunitas Muslim, serta penolakan terhadap simbol-simbol budaya atau agama tertentu, seperti jilbab (Voaindonesia.com).
Jika ditelisik, prasangka ini seringkali berakar pada ketakutan akan "hilangnya identitas nasional" atau "ancaman keamanan", meskipun tidak selalu memiliki dasar yang jelas.
Di Asia, prasangka terhadap etnis atau kelompok agama minoritas dapat dilihat dalam kasus-kasus seperti perlakuan terhadap etnis Uighur di Tiongkok atau ketegangan antara kelompok mayoritas dan minoritas di beberapa negara Asia Tenggara.
Konflik agama dan etnis juga seringkali diperparah propaganda dan disinformasi, yang menyebarkan narasi mengandung prasangka dan kebencian, (propublica-org)