Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Kasus Covid-19 Tinggi, Bagaimana "Hospital" Menjadi "Home-spital"

Kompas.com - 26/02/2022, 20:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Masifnya pola baru berobat dari rumah sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, juga memberlakukan sistem berobat dari rumah bagi pasien Covid-19 yang terkonfirmasi positif tanpa gejala atau bergejala ringan, serta penderita penyakit lain yang kondisinya ringan.

Namun, sangat disayangkan saat gelombang kedua pada pertengahan 2021 lalu banyak penderita Covid-19 bergejala sedang hingga berat yang dirawat di “home-spital”, bukan “hospital”. Pasalnya, BOR rumah sakit yang tinggi membuat banyak pasien kritis tertahan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau tenda perawatan darurat karena tidak dapat masuk ke ruang perawatan lebih lanjut.

Baca juga: 6 Hal yang Harus Diperhatikan saat Isolasi Mandiri di Rumah

Tidak sedikit pula yang akhirnya meninggal di rumah.

“Bom waktu” inkonsistensi kebijakan

Selama pandemi, tercatat pemerintah telah memberlakukan berbagai cara untuk menekan mobilitas penduduk dan menurunkan rantai penyebaran virus SARS-CoV-2. Hal ini dimulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dua belas periode pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro, PPKM darurat, hingga PPKM berbasis level.

Namun, pergantian istilah hingga perpanjangan berulang-ulang justru memberi kesan bahwa pemerintah bertindak inkonsisten serta kurang sensitif terhadap urgensi situasi Covid-19 di Indonesia.

Banyak ahli menilai bahwa deretan strategi tersebut kurang efektif, karena pada kenyataannya mobilitas masyarakat masih tinggi.

Bahkan, masyarakat bisa jadi akan bingung terkait gonta-ganti istilah tersebut sehingga menjadi kurang patuh terhadap protokol kesehatan. Kondisi yang akhir-akhir ini kita lihat di lapangan pada akhirnya merupakan cerminan dari kebijakan yang tidak konsisten. Penuhnya rumah sakit serta kelangkaan obat tidak dapat dihindarkan lagi. Bukan tidak mungkin kondisi saat gelombang kedua dapat kembali terulang dalam waktu dekat.

Meski sebagian kasus telah dibantu oleh telemedicine sehingga bisa dirawat di rumah, pasien dengan gejala sedang dan berat tetaplah membutuhkan perawatan langsung di rumah sakit.

Masa depan rumah sakit

Sudah lebih dari dua tahun dunia dilanda pandemi Covid-19. Lebih dari empat ratus juta orang telah terdiagnosis positif dan hampir enam juta jiwa meninggal akibat infeksi virus SARS-CoV-2 ini.

Beberapa minggu terakhir, Indonesia sedang mengalami gelombang ketiga pagebluk dengan mencatatkan jumlah kasus terkonfirmasi yang meningkat tajam.

Terlepas dari kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat, pandemi memang telah mengakselerasi pergeseran lokasi pelayanan kesehatan. Apakah konsep “kehadiran” rumah sakit di rumah ini akan terus berlanjut pada masa depan?

Berkaca dari efisiensi dan fleksibilitas yang ditawarkan, bukan tidak mungkin setelah pandemi pun konsep “home-spital” akan terus menjadi tren di masyarakat, meski hanya terbatas untuk kasus-kasus ringan.

William William

Staff Pengajar Departemen Biologi Kedokteran, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Kasus COVID masih tinggi: bagaimana pandemi menggeser “hospital” ke “home-spital". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com