Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti Ini Injak Ratusan Ular Berbisa untuk Dapat Gigitan, Apa yang Sedang Dipelajari?

Kompas.com - 23/05/2024, 18:30 WIB
Lulu Lukyani

Penulis

KOMPAS.com - Jararaca adalah ular berbisa yang umum ditemukan di Amerika Selatan. Bisa ular ini mengandung campuran racun mematikan yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa, pendarahan yang mengancam jiwa, dan gagal ginjal.

Hal lain yang membuat ular jararaca sangat menakutkan, bahkan di antara ular beludak, adalah sifatnya yang sangat agresif. Ular ini akan menggigit terlebih dahulu dan menyerang kapan pun ia merasa terancam.

Terkait perilaku agresif jararaca, ahli biologi João Miguel Alves-Nunes mencoba menyelidikinya lebih lanjut dengan cara yang ekstrem, yakni memaparkan dirinya pada gigitan jararaca.

Dalam prosesnya, peneliti menginjak ular sebanyak 40.000 kali untuk membuat mereka menggigitnya. Tentunya, Miguel Alves-Nunes menginjak reptil berbahaya ini dengan hati-hati agar tidak melukai mereka.

Berkat inisiatif yang sangat berani ini, peneliti menemukan bahwa perilaku defensif jararaca dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti ukuran tubuh, jenis kelamin, dan tahap kehidupan, serta faktor lingkungan, seperti suhu dan waktu. Masing-masing faktor tersebut berkaitan secara signifikan dengan gigitan jararaca.

Baca juga: Pulau Ular, Area Berbahaya yang Hanya Bisa Dikunjungi Ilmuwan dan Tentara Brasil

Masyarakat di daerah asal jararaca menyatakan bahwa ular ini hanya menggigit saat diinjak. Namun, hal tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar. Ular yang lebih kecil, terutama ular betina yang baru lahir, lebih rentan menggigit untuk membela diri.

Selain itu, suhu yang lebih hangat juga meningkatkan kemungkinan mereka menggigit. Ini berarti pendakian di wilayah ular berbisa pada hari-hari musim panas harus dihindari.

Dengan demikian, temuan-temuan ini menunjukkan bahwa pemahaman faktor ekologi dan perilaku yang memengaruhi gigitan ular dapat meningkatkan prediksi dan strategi pencegahan.

Percobaan yang ekstrem

Studi yang dilakukan oleh João Miguel Alves-Nunes dan timnya menganalisis pengaruh faktor lingkungan dan biologis terhadap perilaku gigitan jararaca, yang bertanggung jawab atas banyak kasus gigitan ular di negara bagian São Paulo, Brasil.

Para peneliti melakukan percobaan dengan 116 ular, termasuk ular dewasa, remaja, dan bayi, yang ditempatkan secara individual dalam kondisi terkendali.

Baca juga: Ular Ini Lumuri Tubuhnya dengan Kotoran dan Darah untuk Kelabui Predator

Selama percobaan, Miguel Alves-Nunes mengaku tidak menaruh seluruh beban tubuhnya di kaki, sehingga ia tidak melukai ular-ular itu. Hebatnya, dalam studi ini, Miguel Alves-Nunes tidak pernah digigit jararaca, meski sempat mengalami insiden latihan dengan ular derik.

Percobaan berlangsung di arena kecil dengan interval waktu tertentu. Oleh karena itu, para peneliti mencegah ular mengalami stres atau mengembangkan pola yang mungkin memengaruhi hasil penelitian.

Melalui simulasi eksperimental, para peneliti menemukan korelasi signifikan antara variabel-variabel tersebut dengan kemungkinan terjadinya gigitan ular.

Implikasi penelitian

Suhu yang lebih hangat meningkatkan kecenderungan ular betina untuk menggigit, sedangkan ular jantan cenderung tidak menggigit pada malam hari pada suhu yang lebih tinggi.

Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa bagian tubuh yang disentuh memengaruhi kemungkinan terjadinya gigitan, dengan kontak di kepala secara signifikan meningkatkan kemungkinan gigitan dibandingkan dengan bagian tengah tubuh atau ekor.

Semakin kecil hewannya, semakin besar peluangnya untuk menggigit. Hal lainnya adalah betina lebih agresif dan mudah menggigit, terutama saat mereka masih muda dan pada siang hari.

Temuan ini sejalan dengan data epidemiologi yang menunjukkan tingkat gigitan ular yang lebih tinggi di wilayah pesisir São Paulo. Gigitan ular pun lebih sering terjadi pada bulan-bulan hangat dan pada saat aktivitas manusia meningkat.

Implikasi dari penelitian ini sangat besar. Dengan memahami faktor ekologi dan perilaku yang memengaruhi insiden gigitan ular, tindakan kesehatan dapat lebih tepat sasaran. Misalnya, mendistribusikan antivenom di wilayah-wilayah dan pada periode-periode yang diidentifikasi berisiko tinggi dapat mengurangi dampak gigitan ular secara signifikan.

Meskipun penelitian ini memberikan wawasan yang berharga, penelitian ini juga menyoroti perlunya penelitian lebih lanjut. Penelitian di masa depan harus mengeksplorasi hubungan antara insiden gigitan ular dan perilaku spesies ular berbisa lainnya di berbagai wilayah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com