KOMPAS.com - Endometriosis adalah suatu kondisi, di mana jaringan yang mirip dengan lapisan rahim mulai tumbuh di tempat lain, seperti ovarium dan saluran tuba.
Endometriosis ini merupakan penyakit kronis progresif yang diderita oleh 70 juta perempuan usia produktif di seluruh dunia, yang mana umumnya memerlukan pengobatan jangka panjang dan komitmen tinggi pasien.
Dikatakan Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, SpOG (K), MPH, Dokter pendiri SMART IVF dan Wakil Direktur Indonesia Medical Education and Research Institute (IMERI) Universitas Indonesia, penyakit endometriosis dapat menyebabkan keluhan nyeri haid kronik, sehingga menghambat produktivitas perempuan dan bahkan mengganggu keharmonisan keluarga.
Baca juga: Nyeri Haid Parah yang Tidak Normal, Penyebab, Gejala hingga Penanganannya
Studi tentang endometriosis di berbagai negara menunjukan, bahwa penderita endometriosis cenderung terpaksa izin atau tidak masuk sekolah maupun tempat bekerja, akibat keluhan nyeri yang sangat hebat.
Bahkan, data di Amerika Serikat pada tahun 2002 melaporkan kerugian sebesar $22 milyar (Rp 314 miliar) per tahun, yang disebabkan oleh keluhan nyeri serta kekambuhan yang tinggi pada endometriosis.
Sementara merujuk pada data RSCM tahun 2010 – 2011, sebanyak 43.4% pasien endometriosis merasakan nyeri berat yang berakibat tidak dapat beraktivitas sehari–hari, 36.7% merasa nyeri derajat sedang dengan keterbatasan aktivitas sehari–hari, dan 20% pasien dengan nyeri derajat ringan.
Banyak kasus endometriosis terlambat terdiagnosis
Masalahnya, endometriosis seringkali terlambat terdiagnosis.
“Remaja yang memiliki keluhan endometriosis sering mengalami keterlambatan sampai 4,6 tahun untuk mencari pertolongan dan setelah itu terlambat 4,7 tahun lagi untuk terdiagnosis,” kata dokter yang kerap disapa Prof. Iko dalam Peluncuran Kampanye ENDometriosis untuk Mempercepat Diagnosa dan Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien, Senin (14/6/2021).
Menurutnya, banyak faktor pada pelayanan primer yang berkontribusi pada terlambatnya penegakan diagnosis endometriosis. Salah satunya adalah standar diagnosis yang berbasis laparoskopi.
“Belum ada gambaran dan biomarker yang khas untuk menegakkan diagnosis endometriosis. Apalagi, keluhan nyeri dapat disebabkan oleh banyak faktor lain,” jelasnya.
“Ada atau tidak adanya lesi, juga tidak menyingkirkan kemungkinan penyebab selain endometriosis,” lanjutnya.
Baca juga: Studi Temukan Hubungan Genetik Endometriosis, Depresi hingga Gangguan Mood
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.