Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Astronom Pastikan Cahaya Merah di Tuban Bukan Lintang Kemukus, Lalu Apa?

Kompas.com - 12/10/2020, 19:11 WIB
Bestari Kumala Dewi

Penulis

KOMPAS.com - Beberapa warga di Tuban Jawa Timur, melihat cahaya merah terang membentuk garis vertikal tegak lurus di langit pada Sabtu lalu (10/10/2020).

Banyak orang meyakini hal tersebut adalah lintang kemukus dan mengaitkannya dengan berbagai kepercayaan, khususnya pertanda buruk seperti akan ada pagebluk, bencana alam, dan lain sebagainya.

Namun astronom amatir Marufin Sudibyo memastikan, bahwa bukan lintang kemukus yang menjadi penyebab ketampakan cahaya lurus kemerahan pada Sabtu 10 Oktober 2020 malam (sekitar pukul 21 - 22 WIB) dari kawasan Tuban - Lamongan - Bojonegoro dan sedikit Jombang (Jawa Timur).

Baca juga: Komet Atlas, Lintang Kemukus yang Telah Betas di Tengah Pandemi Corona

Dari Tuban dan Bojonegoro, cahaya lurus kemerahan tersebut nampak di ufuk utara-timur laut, di atas laut Jawa.

“Ditunjang dengan citra satelit cuaca di malam tersebut, maka sementara bisa disimpulkan fenomena itu buatan manusia, produk pemantulan cahaya lampu-lampu kuat di darat ke langit,” demikian penjelasan Marufin melalui akun Twitter pribadinya @marufins.

Dalam astronomi lintang kemukus adalah komet, benda langit kecil yang sangat kaya es dan bekuan senyawa ringan lainnya.

Komet membentuk struktur ekor saat mendekati Matahari oleh sublimasi bekuan-bekuannya, menjadi gas dan plasma yg mendorong debu-debu dan pasir penyusun komet ke lingkungan.

“Pada saat ini tidak ada komet yang kasat mata hadir di langit kita. Maka cahaya lurus kemerahan itu sama sekali bukan lintang kemukus,” kata Marufin.

Cahaya tersebut juga bukan meteor, karena muncul dalam wktu yang cukup lama (hampir sejam). Sementara meteor paling terang sekalipun takkan berumur lebih dari 20 detik,” lanjutnya.

Marufin melanjutkan, meteor paling terang yg pernah tercatat adalah beberapa kali lebih terang dibanding Matahari, yang terjadi di Chelyabinsk, Russia, 13 Februari 2013. Itu pun penampakannya tak lebih dari 20 detik.

Menurut Marufin, analisis sementara, cahaya lurus kemerahan tersebut kemungkinan pilar cahaya. Kandidat kuat sumber cahaya tersebut adalah kompleks PLTU Tanjung Awar-Awar di pesisir Tuban.

Baca juga: Lintang Kemukus dan Mitos yang Mengikutinya, Begini Penjelasan Sains

Ilustrasi komet Ilustrasi komet

Tapi pilar cahaya, hanya akan terjadi jika kondisi atmosfer mendukung, yakni tersedianya media pematulan.

Media tersebut adalah awan Cirrus, yg mengandung komponen partikel-partikel es mikro berbentuk lempengan yang bisa menjadi pemantul yang baik.

“Sehingga, cahaya kuat dari darat akan dapat dilihat dari tempat yang jauh, karena terpantulkan oleh partikel-partikel es mikro tersebut dan nampak sebagai fenomena mirip pilar. Mekanisme ini mirip proses pembentukan pelangi, hanya saja di sini tidak terjadi pembiasan,” jelas Marufin.

“Kenapa tak terjadi pembiasan cahaya? Karena intensitas sumber cahayanya jauh lebih lemah ketimbang Matahari maupun Bulan,” lanjutnya.

Marufin mengatakan, citra satelit HIMAWARI kanal Global Water Vapor menunjukkan terjadinya pembentukan awan Cirrus di atas Lamongan - Tuban - Bojonegoro pada malam itu. Di mana adanya konsentrasi uap air sedang disertai awan tipis, yang umumnya awan Cirrus.

“Fenomena ini memang tidak terjadi setiap hari, karena kondisi atmosfer harus mendukung,” ujarnya.

Marufin mengingatkan untuk tak terburu-buru menyimpulkan apa yang ada di langit sebagai suatu pertanda. Karena bukan tak mungkin, fenomena itu terjadi dari perbuatan manusia.

Baca juga: Ramai Lintang Kemukus di Tuban, Apa Itu Komet dan Kenapa Ada Ekornya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com