Meski pemerintahan Jokowi belum mencapai pertumbuhan ekonomi tahunan tujuh persen seperti yang dijanjikan, Indonesia mencatatkan diri sebagai negara berkembang terbesar keenam berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB).
"PDB per kapitanya melebihi PDB India dan Vietnam jika disesuaikan dengan daya beli," urai The Economist.
"Jika Indonesia tetap di jalur ini selama dekade berikutnya, Indonesia bisa menjadi salah satu dari sepuluh negara dengan perekonomian terbesar di dunia," imbuhnya.
Akan tetapi, tantangan besar masih harus dihadapi penerus Jokowi seperti pertumbuhan ekonomi yang tidak merata.
The Economist mencontohkan Jakarta yang PDB per orangnya naik menjadi sekitar 19.000 dollar AS (Rp 297 juta) per tahun pada 2022, tetapi di Provinsi Jawa Tengah masih di bawah 3.000 dollar AS (Rp 46,89 juta).
Baca juga: Dubes RI: Hubungan Bilateral dengan Malaysia Diyakini Tetap Solid Apapun Hasil Pemilu
Faktor ini menjadi tulang punggung perekonomian negara karena sebagian di antaranya diminati negara-negara lain terkait transisi energi.
Produksi nikel—bahan pembuat baterai kendaraan listrik—misalnya, yang jauh melebihi negara-negara lain di dunia.
Indonesia hendak membuat baterai mobil listrik dengan total kapasitas 140GWh [ada 2030, hampir sama dengan produksi global pada 2020.
Analisis The Economist memperkirakan, pada 2030 Indonesia dapat menjadi produsen komoditas ramah lingkungan terbesar keempat di dunia setelah Australia, Chile, dan Mongolia.
Pemerintah RI saat ini melarang beberapa ekspor mineral untuk mendorong perusahaan multinasional membangun pabrik di Indonesia. Kebijakan yang dikenal sebagai hilirisasi.
Perpaduan lokasi, kapasitas, dan sumber daya menjadikan Indonesia arena utama persaingan negara-negara adidaya.
Investasi terus mengalir dari Amerika Serikat (AS) dan China. Negara yang disebut terakhir itu berinvestasi lebih banyak.
Dunia akan menantikan bagaimana presiden Indonesia berikutnya mengatasi dua masalah, yaitu ketegangan AS-China dan hilirisasi.
Hubungan AS-China yang semakin tegang dapat berdampak ke perusahaan-perusahaan China yang menjadi andalan Indonesia karena dapat terpengaruh tarif atau sanksi dari AS.
Selanjutnya, hilirisasi mungkin bermanfaat bagi nikel, tetapi bisa menjadi bumerang di sektor lain.
Industri tenaga surya di Indonesia misalnya yang masih terhambat peraturan pemerintah.
"Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang menerapkan lebih sedikit pembatasan terhadap investor luar menjadi tujuan lebih menarik bagi perusahaan yang ingin memindahkan rantai pasokan mereka dari China," pungkasnya.
Baca juga: Ekspor Indonesia Meningkat ke Amerika Serikat, Imbas Perang Dagang dengan China
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.