SINGAPURA, KOMPAS.com - Operasi Jaywick adalah salah satu operasi sabotase sekutu paling sukses pada Perang Dunia II.
Operasi tersebut bisa menjadi plot dalam film aksi: mengirim 14 personel pasukan komando serta awak kapal Australia dan Inggris dari Australia ke Singapura yang diduduki Jepang, menggunakan perahu motor nelayan yang diberi nama Krait.
Para awak kapal ini didandani dengan sarung dan pewarna coklat pada kulit mereka layaknya nelayan Melayu.
Baca juga: Singapura Ledakkan Bom Perang Dunia II Seberat 100 Kg, 4.000 Warga Dievakuasi
Perahu kemudian disandarkan di lepas pantai Singapura, lalu mendayung ke Pelabuhan Keppel dengan kano yang bisa dilipat dalam kegelapan.
Terakhir, letakkan sejumlah ranjau secara diam-diam di berbagai kapal Jepang, kemudian labur.
Ranjau-ranjau tersebut dipasang pada 26 September 1943 malam hari. Keesokan harinya, tujuh kapal Jepang, dengan berat sekitar 30.000 ton, tenggelam atau rusak parah.
Ke-14 serdadu itu kembali dengan selamat ke Exmouth, Australia Barat.
Secara keseluruhan, mereka melakoni misi tersebut selama 48 hari--termasuk ketika mereka berlayar beriringan dengan sebuah kapal perang Jepang selama 20 menit di perairan Indonesia.
Kejadian ini hampir membuat ke-14 serdadu itu berniat meledakkan perahu berisi bahan peledak berkekuatan tinggi.
"Ayah saya mengatakan kepada seorang jurnalis: 'Kami hampir menghancurkan kapal Jepang itu dan kami tewas'," kenang Brian Young, putra operator radio dan anggota kru Krait, Horrie Young.
"Kapal itu tiba-tiba berbalik dan pergi, tanpa alasan apa-apa. Mereka semua berterima kasih pada bintang keberuntungan mereka, saya kira," ujar pria berusia 80 tahun itu.
Sekitar 80 tahun kemudian, misi tersebut terus menarik imajinasi populer. Misi itu menjadi topik pembahasan banyak buku, dokumenter, serta tayangan TV serta film.
Adapun Krait dipamerkan di Museum Maritim Nasional Australia di Sydney sejak tahun 1988.
"Perencanaan, pelaksanaan, dan keberanian serangan hampir 2.000 mil di belakang garis musuh sangat tak tertandingi," kata spesialis angkatan laut Stirling Smith dari Museum Maritim Nasional Australia.
Misi ini dipimpin oleh Kapten Ivan Lyon, yang merekrut dan melatih orang-orang yang terlibat.
Baca juga: Catatan Setahun Perang Rusia Vs Ukraina, di Bawah Ancaman Perang Dunia dan Nuklir
Ian Li dari program studi militer di S Rajaratman School of International Studies di Singapura, berpendapat bahwa Operasi Jaywick adalah contoh terbaik perang asimetris, beberapa dekade sebelum istilah tersebut diciptakan.
Menyinggung laporan mengenai serangan unit kecil yang dilakukan oleh pasukan khusus Ukraina terhadap berbagai serangan Rusia, Li berkata: "Mirip dengan Jaywick, serangan ini memiliki nilai simbolis selain operasional karena membantu menjaga musuh tetap waspada dengan mengingatkan mereka bahwa tidak ada tempat yang 'aman'."
Li mengakui bahwa serangan itu tidak memiliki "dampak yang kuat"--sebagian besar kapal yang rusak kemudian diperbaiki dan digunakan kembali oleh Jepang dalam hitungan minggu.
Tapi dampak psikologisnya jauh lebih besar, mengingat pelabuhan tersebut dianggap sebagai benteng yang aman dan jauh dari jangkauan Sekutu.
"Hal ini ditambah dengan fakta bahwa mereka tidak pernah mengetahui bagaimana serangan itu dilakukan," ujar Smith.
"Berarti selama sisa perang, waktu dan tenaga yang berharga dialihkan untuk mengamankan dan menjaganya daripada berperang di tempat lain," katanya kemudian.
Namun, serangan tersebut juga menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan bagi penduduk sipil Singapura, setelah Sekutu membatalkan keputusan mempublikasikan operasi itu lantaran berharap bisa melakukan serangan serupa di masa depan.
Polisi militer Jepang mengira para tahanan yang mendekam di Penjara Changi punya andil dalam serangan itu. Penjara tersebut digerebek dan sebanyak 57 tahanan diinterogasi pada 10 Oktober.
Sebanyak 15 orang dari 57 tahanan itu disiksa sampai mati dalam peristiwa yang dikenal sebagai Insiden Sepuluh Ganda, atau Double Tenth incident, yang diperingati setiap 10 Oktober.
Young, yang lahir ketika ayahnya sedang menjalani misi tersebut, mengatakan kepada BBC bahwa ayahnya jarang menceritakan pengalamannya di masa perang.
"Satu-satunya hal yang sering ayah saya katakan adalah dia sangat menyesal karena masyarakat setempat yang disalahkan."
Pada 1944, pasukan beranggotakan 23 orang yang dipimpin oleh Lyon, yang saat itu menjabat sebagai letnan kolonel, berusaha mengebom pelabuhan lagi tapi diketahui oleh Jepang.
Semuanya tewas dalam pertempuran atau dieksekusi.
Baca juga: Bangkai Kapal Perang Ditemukan di Perairan Pulau Nusakambangan, Diduga Karam pada Perang Dunia II
Ini adalah kisah yang terus menghantui keturunan awak kapal Krait, yang semuanya telah meninggal.
"Ayah saya dan teman-temannya sama saja: mereka tidak suka melihat apapun yang dihias," kata Young mengingat rekannya sesama kru, Arthur "Joe" Jonas sering mengunjungi ayahnya untuk berbincang.
Dalam perbincangan itu, mereka mengenang aksi saat operasi ke Singapura seperti mewarnai tubuh mereka.
"Mereka mengatakan tentara Jepang hanya perlu berada dalam jarak 100 meter untuk mengetahui bahwa kami bukan penduduk lokal."
Evan Morris, putra petugas medis Ron Morris, mengatakan kepada BBC: "Baru setelah dia meninggal saya mulai mencoba mencari tahu lebih banyak (tentang Operasi Jaywick). Ini adalah kisah kepahlawanan."
Penelitiannya mencapai puncak dalam sebuah buku berjudul The Tiger's Revenge, yang katanya ditulis untuk keluarga dan cucu-cucunya.
Seperti Brian Young, Ron Morris tidak banyak bicara tentang perang, tapi putranya ingat satu hal yang dia katakan: "Tidak ada yang namanya pahlawan. Jika kamu tidak takut, kamu bodoh."