Mantan anggota boyband The Galaxy di Indonesia ini awalnya sempat bercita-cita ingin menjadi dokter.
Namun, harapannya kandas setelah gagal tembus Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMBPTN) UI, ujian Seleksi Masuk (SIMAK) UI, dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
“Aku tuh benar-benar yang mati-matianlah buat kedokteran ini, karena aku pengin jadi dokter. Dari pagi sampai jam 5 sore (ekstrakurikuler), terus lanjut Maghrib-nya les, sampai jam 9 malam."
"Dari 10-11 malam aku ngajar gratis ke orang-orang, matematika, biologi, semuanya aku kasih tutor gratis. Nah, dari jam 12 sampai jam 2 paginya aku langsung benar-benar belajar lagi sendiri,” kenang Deris.
“Memang takdir aku bukan di sini dan aku langsung mengubah cari takdir lain,” tambahnya.
Untungnya di saat yang sama Deris yang waktu SMA mengambil jurusan IPA telah menerima beasiswa untuk menempuh studi jurusan Hubungan Internasional (HI) dari President University di Bekasi.
“Saat itu ekonomi pun lagi enggak stabil. Jadi memang papa kan baru pensiun, terus mama akhirnya buka warung juga buat menghidupi kuliah aku,” cerita Deris.
Walau pada waktu itu orangtuanya masih menginginkan Deris untuk kuliah di universitas negeri, ia pun lantas berusaha membuktikan kepada mereka bahwa President University adalah pilihan yang tepat untuknya.
“Ini udah beasiswa gratis, tinggal biaya hidup aja,” ujarnya.
“Aku enggak boleh cuman diam doang, makananya aku diam-diam (melakukan kerja paruh waktu) enggak bilang ke orangtua dan uang itu buat aku sehari-hari di kampus,” tambah laki-laki yang pernah bekerja sebagai penyanyi pernikahan, MC, pelatih debat, dan periset saat masih kuliah S1 dulu.
Kerja kerasnya dalam menempuh pendidikan S1 pun terbuktikan, dengan IPK 4.0.
Baca juga: Cerita WNI Sukses Bekerja di Amerika walau di Luar Bidang Studinya
Saat kuliah S1 di President University, Deris sempat menerima tawaran beasiswa untuk kuliah 2 semester di Belanda. Tawaran yang tak mungkin ia tolak ini membuatnya harus memutar otak untuk mendapatkan biaya hidup selama di Belanda, mengingat beasiswa yang ia dapat hanya untuk pendidikan saja.
Ia pun lantas memaksakan diri untuk mendatangi perusahaan yang memiliki program sosial (red.CSR atau Corporate Social Responsibility), kantor pemerintah, termasuk Kemenpora, dengan harapan bisa mendapatkan biaya tambahan untuk hidup di Belanda.
Gagal mendapat biaya di luar, Deris pun kembali ke orangtuanya.
“Aku ngebohong ke mereka, in good ways, aku bilang udah disediain semuanya. Tinggal minta uang saja buat berangkat naik pesawat, sama (biaya) buat sebulan. Ya udah akhirnya mereka mengusahain,” cerita Deris.
Berbekal biaya Rp 7 juta, Deris akhirnya tiba di Belanda, tanpa ada kepastian mengenai tempat tinggal dan pekerjaan. Ia beruntung karena akhirnya bisa menginap di lantai rumah temannya selama 2 minggu.
Tidak hanya itu, ia juga langsung mendapat kesempatan kerja magang di hari pertama. Walau begitu, Deris berusaha untuk menghemat, khususnya untuk biaya transportasi.
“Kalau naik bis atau naik kereta kan mahal banget ya, jadi aku dapat gratis dari (tetangga) aku, sepeda. Jadi aku naik sepeda bolak-balik 50 km lebih dan sekali jalan 2 jam setengah. Itu melewati gunung, lembah, laut danau, tol, hutan, bukit semua kulalui,” katanya.
Bagi Deris, pengalaman hidupnya di Belanda merupakan sebuah proses pembelajaran untuk menjadi individu yang independen, membuatnya lebih menghargai “segala unsur kehidupan(nya),” dan mempersiapkannya untuk membangun negeri jika kembali ke Indonesia nanti.
Baca juga: Cerita WNI Wisuda di Amerika: Di Sini Lebih Ceria, Enggak Ribet, kalau Indonesia Formal
Hingga kini, Deris telah mengunjungi delapan negara, termasuk Amerika Serikat, di mana kini ia menemukan tantangan yang berbeda, khususnya di kampus.